Friday, August 15, 2008

HUJAN, PETIR & SANG PENDOSA

Hujan turun lagi dengan derasnya. Kasar, seakan marah akan dosa – dosa yang membakar manusia di tanah Jakarta ini. Aku begitu membenci hujan, juga petir. Bagiku hujan hanya melambangkan kemurungan, kesendirian, dan kesedihan yang membanjir. Petir, begitu menakutkan, bersuara keras, menyilaukan dan datang begitu saja. Kadang aku berharap hujan hanya turun setelah aku tidur dan berhenti sebelum ku terbangun.

Hujan, hanya mengingatkan aku akan dia, sang cinta dalam hidupku. Seolah masih berdengung dalam telingaku, cerita riangnya akan wanita yang ia sukai. Cinta yang lama telah ia nanti, cinta yang menurutnya baru ia temukan setelah sekian lama mencari tanpa hasil. Aku hanya tertegun, sampai aku menyadari bahwa aku seakan tidak merasakan apapun saat itu. Tidak sedih, tidak hancur, tidak menjerit dan meraung – raung pada Tuhan atas ketidakadilanNya. Tidak. Hanya kosong yang meluap menutupi dera hati yang seakan tertusuk pedang maha tajam. Aku lebih terkejut lagi ketika tanpa sadar aku berujar bahwa aku berharap wanita ini akan menjadi yang terbaik untuk dirinya. Bagai ada jiwa lain yang merasuk tubuhku, aku tersenyum.

Sungguh agung, kepasrahan yang Tuhan berikan kepadaku, aku seakan lupa akan doa – doaku, pintaku, dan permohonanku agar ia mencintai aku, betapapun cinta ini bergelimang dosa dan larangan dari semua orang. Betapa dulu aku menggila, meratap pada Tuhan agar diberi kesempatan untuk merasakan betapa indahnya rasa dicintai. Betapa aku seringnya menggigil, mengharapkan cintanya datang memeluk tubuhku dalam dinginnya malam yang membeku.

Baru saja dia meneleponku, bahagianya ia, resmi sudah hubungannya dengan wanita itu. Sekilas perih menoreh dadaku. Apakah wanita itu akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya? Berkorban sebanyak apa yang telah aku korbankan untuknya? Apakah dia akan selalu ada untuknya disaat ia membutuhkan dukungan? Apakah wanita itu akan tahan menghadapi amarahnya yang terkadang membabi buta? Apakah wanita itu akan mencintainya tanpa syarat?

Aku sang pencinta, sang pendosa, kurelakan berpuluh tubuh meregang diatas tubuhku agar aku bisa melupakan cintaku padanya, kurelakan rasa jijik datang setiap kali aku tergolek lemas dalam pelukan orang lain. Aku penuh dosa. Oh Tuhan, betapapun besarnya nafsu yang kuberikan pada orang lain, aku hanya mencintai dia, sang pangeranku, Tristanku, Romeoku, Pangeran berbaju zirahku, cinta dalam hidupku. Absurd.

Banjir datang lagi, seperti tidak tahu diri, kali ini aku hanya terdiam, betapa ku berharap banjir ini bisa merendam tubuhku, membawaku ke gelap niskala. Air mulai tinggi di sungai ini, derasnya air mulai berteriak, deru hujan yang kencang membuatku terhuyung di tepi sungai. Aneh, rasanya aku mulai menyukai hujan, suara petir yang membahana tak lagi membuatku tuli. Arus sungai seakan memanggil namaku., ini bukan akhir dari cintaku padanya, melebihi cintaku akan hidup. Kakiku mulai melangkah , dan aku membiarkan riak sungai menelan tubuhku, merendam wajah, paru – paru dan jantungku. Tuhan, bakar aku dalam apimu, sucikan jiwaku dari dosa yang mengerak. Tapi, jangan hilangkan cintaku padanya. Inilah akhir dosaku.

JAKARTA, 8 APRIL 2008, 21:43

No comments: