Malam itu aku akan bertemu dengannya, setelah berkali – kali aku menggagalkan janji kami untuk bertemu, akhirnya malam itu aku berhasil mengalahkan kegugupanku dan bertemu dengannya. Aku sendiri tak tahu kenapa aku begitu gugup hanya dengan memikirkannya. Kami sudah lama tidak bertemu, mungkin hampir sekitar 2 tahun. Kami pernah bekerja di satu perusahaan yang sama. Aku begitu menyukainya saat itu, mungkin sampai saat ini. Ia tak pernah tahu aku begitu mengaguminya, memimpikannya, dan berimajinasi bahwa pada satu saat dia akan mencintaiku. Impian kosong, kurasa.
Disaat aku begitu menginginkannya, dia menikah, dan aku tersentak, impianku hancur. Aku tak datang ke pernikahannya, saat itu aku sedang mengelola eksibisi, dan harus secepat mungkin pulang ke Bandung untuk mengejar keesokan harinya. Agaknya, itu cuma alasan, aku benar – benar tak ingin melihatnya ada di pelaminan bersama orang lain. Pernikahan itu betul – betul megah, sampai – sampai presiden pun datang untuk memberi selamat, kedengarannya agak berlebihan, tapi itulah kenyataannya, ayahnya pejabat besar yang dihormati di Jakarta, setidaknya itu yang kubaca di sudut Koran pagi.
Pertama kali bertemu, kami masih sama – sama kuliah di tempat yang sama di Bandung. Begitu banyak orang yang mengaguminya, tak sedikit juga yang menjadi pacarnya. Dia begitu bercahaya, senyum lebar yang memikat, tapi tak sedikit pun aku berani mendekatinya. Bahkan aku tak bermimpi bisa jadi temannya saat itu. Karena kesibukan dan waktu, aku berhasil melupakannya saat itu, aku berusaha menghindar tempat – tempat yang biasa menjadi tempat ia berkumpul bersama teman – temannya, kuhindari kemungkinan sedikit pun untuk bertemu dengannya. Aku tak ingin lepas control dan bertindak bodoh, aku juga tak mau mempermalukan dia didepan teman – temannya.
Bertahun – tahun berlalu. Saat itu, aku baru diterima di sebuah perusahaan yang cukup besar di Bandung. Aku mulai sering melakukan business trip ke Jakarta. Satu saat, aku bertemu dengan rekan kerjaku di Jakarta, dan ia memperkenalkan aku pada beberapa rekan di cabang perusahaan di Jakarta. Ia menunjukkan juga beberapa kartu nama kolega – koleganya di Jakarta. Aku terpana ketika melihat sebuah nama yang tidak asing, nama yang selalu ada di kepalaku sejak bertahun – tahun yang lalu, Dia, ternyata nasib akan mempertemukan kami lagi. Aku tak tahu apakah harus bahagia atau gugup karena aku akan bertemu dengannya. Seingatku, malam itu aku tak bisa tidur, memikirkan apa yang harus ku katakana apabila bertemu dengannya.
Ternyata baru tiga bulan kemudian aku baru bisa bertemu dengannya, seperti dulu, dia selalu terlihat mengagumkan. Segar dan menyenangkan, perlahan cahaya yang selama ini menjauhiku mulai datang dan bersinar kembali. Kami tertawa, mengenang masa lalu, mentertawakan kebodohan – kebodohan kami dimasa lalu, dan ia mempertanyakan masa – masa dimana aku tiba – tiba menghilang dari peredaran dan menyibukkan diri dengan tugas – tugas kuliahku. Aku tersipu, bagaimana aku bisa bilang kalau aku mencintainya dan berusaha menghindarinya agar tak bertindak bodoh?
Sejak itu hubungan kami membaik, kami sering berkirim SMS, tak jarang, ia meneleponku untuk sekedar menanyakan kabarku, atau dengan ucapan – ucapan di SMSnya yang singkat, tapi selalu berhasil membuat hatiku hangat. Rasa cinta itu mulai datang membuncah di hatiku. Setelah ia menikah, kami pernah melakukan perjalanan bisnis bersama, dan tinggal sebagai teman satu apartemen selama satu minggu di Surabaya. Seperti merasakan keajaiban, setiap malam aku melihatnya tidur, begitu menggilanya rasa ingin menyentuh dan memeluknya, tapi urung kulakukan karena aku tak ingin dia membenciku. Satu minggu itu adalah satu minggu yang terindah dalam hidupku, seakan aku memiliki seorang pelindung, yang sangat memperhatikan aku. Setelah itu kami sibuk dan tenggelam dalam kesibukan masing – masing. Aku pun mengundurkan diri dari perusahaan, dan memilih pindah ke Jakarta untuk mengejar karir.
Hingga malam ini, aku berusaha menghilangkan kegugupanku, aku harus bertemu dengannya. Hujan mulai menerpa tanah Jakarta. Kucegat taxi, dan berpesan agar secepatnya sampai di tempat pertemuanku dengannya. Jalanan yang macet karena hujan deras dan bisingnya suara klakson seakan tak kurasakan. Aku hanya memikirkan apa yang akan kubicarakan saat ku bertemu dengannya. Bagaimana kalau kami hanya mengobrol kaku? Bagaimana kalau dia tiba – tiba tidak datang? Tanpa sadar taxi yang kutumpangi telah sampai ke sebuah mall terbesar di Jakarta, tempat pertemuanku dengannya. Sebuah pesan SMS masuk, aku tersenyum, ternyata dia sudah datang dan memintaku untuk langsung masuk ke sebuah restoran.
Ia sudah menungguku, masih seperti dulu, selalu tampak mengagumkan, walau dengan jenggot dan cambang yang nyaris menutupi wajah rupawannya. Senyumnya mengembang, seakan ia tahu betapa aku ingin melihat senyumnya. Kami berbicara banyak sekali malam itu, bagai melepas rindu setelah bertahun – tahun tidak bertemu. Kami tertawa keras sekali, sampai membuat orang – orang di sekitar kami menengok. Aku tak peduli, aku begitu senang, bahagia bisa mengobrol dengan lelaki yang menjadi impianku sejak dulu.
Malam semakin larut, kami pun seakan masih tak puas mengobrol, kami pindah ke sebuah coffee house di mall tersebut. Tanpa sadar aku melirik telepon genggamnya, ada foto seorang wanita cantik dan seorang anak yang mirip sekali dengannya. Aku tertegun sejenak, dan sekali lagi aku merasa perih. Dia bertanya, kapan aku akan menyusulnya untuk menikah, memiliki istri dan anak? Aku tergelak dalam kegugupanku, bagaimana aku bisa mencari istri, kalau aku masih mencintai seorang lelaki seperti dirinya? Saat itu aku menyadari pintu masuk untuk mencintainya sudah tertutup. Aku tak mungkin terus mengejar – ngejarnya seperti orang yang tidak tahu diri. Aku tak mungkin mengganggu ketentraman rumah tangganya, aku bukan perusak rumah tangga orang, dan aku tak tahu apakah dia mencintai aku juga atau tidak. Kurasa tidak. Aku rasa sekarang ini aku cukup dengan menjadi sahabat terbaiknya. Melihatnya tersenyum padaku, rasanya sudah lebih dari cukup.
Akhirnya malam itu kami berpisah, dengan bersalaman, seperti layaknya dua lelaki sejati. Panas kurasakan di mataku saat melihat punggungnya kala ia beranjak pergi. Aku pun berjalan mencari taxi. Sunyi kurasakan dalam keramaian Jakarta di malam ini. Pertemuan, ya, pertemuan inilah yang terindah dalam hidupku. Walaupun rasanya aku sudah pasrah dan berhenti berharap. Kunaiki taxi pesananku dengan perasaan lega. Ponselku berbunyi, sebuah SMS darinya,
+62818678XXX
Boleh aku menginap di tempatmu malam ini? Rasanya aku masih ingin mengobrol lebih banyak…
Kubalas,
+62818556XXX
..Boleh lah, aku juga masih ingin mengobrol banyak..
Ternyata kesempatan itu masih ada..
Jakarta, 1 0 April, 2008 22:30
Friday, August 15, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
good ending Za....
Post a Comment