[Adrian & Elson]
Adrian merapatkan jaketnya, langit yang mendung dan udara yang menusuk membuatnya mempercepat langkahnya menuju tempat tinggalnya. Kamar yang disewanya terletak di daerah gunung sahari, di utara Jakarta. Sulit ia percaya bahwa kota ini bisa menjadi sedingin dan semuram ini. Pertama kali ia menjejakkan kakinya di Jakarta, tahun 2008 untuk mengejar karir dan melupakan luka hatinya yang tertinggal di Bandung. Dalam kurun waktu 5 tahun sejak ia tinggal di Jakarta, perlahan kota ini mulai muram, langit mendung mulai sering mendatangi, juga hujan deras yang tak hentinya mengunjungi tanah Jakarta yang gersang. Hujan yang menyebabkan banjir, kelaparan dan kerugian bermiliar – miliar dari warganya. Belum lagi bahan makanan dan bensin yang terus meroket. Demonstrasi mahasiswa yang tak lagi santun, dan pemerintah yang makin hari makin tak bisa dipercaya. Ini Jakarta, tahun 2013.
Adrian memutar kunci kamar sewaannya, masuk dan mulai melepas jaketnya sambil menggeletar kedinginan. Ia menekan tombol remote televisinya, mencari saluran berita, hal yang terus dilakukannya sejak 6 bulan lalu sepulang kerja, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Jakarta. Tergambar di layar televisinya, laporan badan meteorology dan geofisika tentang fenomena cuaca di Jakarta yang diguyur hujan badai tanpa henti.
Ia berbaring, tiba – tiba terlintas di benaknya, bagaimana jika ini pertanda hancurnya kota ini? Bukankan sudah pernah ada ramalan jika Jakarta akan tenggelam? Adrian menegang. Teringat ibunya yang begitu sabar menantinya pulang setiap 2 minggu, teringat Elson yang selalu siap menemaninya jika ia pulang ke Bandung. Elson yang diam – diam ia cintai selama 10 tahun. Elson yang selalu tersenyum, tanpa tahu apa yang ada di benak Adrian sebenarnya. Mereka tak pernah tahu kalau Adrian berbeda dengan pria kebanyakan, Adrian hanya mencintai Elson, seorang lelaki, seperti dirinya.
Tak pernah terbayangkan oleh Adrian jika ia harus terbuka mengenai keadaan dirinya pada ibunya. Ibunya yang cantik, tegar, sabar tetapi selalu mengingatkan Adrian, kalau dia tak mau Adrian menjadi gay di Jakarta.
“kamu jangan sampe jadi homo ya nak..” cetus ibunya setiap kali Adrian akan berangkat ke Jakarta. Adrian hanya tersenyum. Perih. Perih karena tak bisa jujur pada satu – satunya orang terpenting dalam hidupnya. Perih karena takut ibunya dan Elson takkan menerima kenyataan hidup Adrian yang berbeda.
Adrian menggeletar kedinginan, kamarnya yang seluas 4 x 6 itu mulai terasa sangat dingin, ia menutup jendela kamarnya. Pekerjaannya sebagai sales representative sebuah hotel ternama di Bandung mulai terasa semakin berat, bagaimana tidak, banyak Negara yang memberikan warganya Travel Warning agar tidak pergi ke Indonesia, ia juga mendengar, di Bali, banyak usaha yang bangkrut karena cuaca yang tak menentu membuat pantai – pantainya sangat berbahaya untuk dikunjungi. Tetapi Adrian tetap bertahan, baginya setidaknya ia masih memiliki pekerjaan yang bagus, bisa menghidupinya dan membayar hutang – hutangnya.
Tiba – tiba ia mendengar suara ketukan di pintunya, diantara suara angin badai dan hujan yang menderu kejam. Ia membuka pintu. Elson!
“Elson?..”
“Hai dri, sori gue ga ngabarin ya..” ucapnya seraya menggeletar kedinginan.
“ Oh ga pa pa kok, ayo masuk, diluar hujan gede kan?” Adrian berusaha menguasai dirinya. Ia terkejut sekaligus senang Elson tiba – tiba ada di pintu kamarnya, sejak Elson mempunyai pacar, Adrian berusaha menjaga jarak agar Elson tidak tahu bahwa Adrian sangat cemburu.
“ tumben sih lo kesini tiba – tiba, Jakarta lagi rawan loh son..”
“ iya gue tau, gue disini buat jemput lo, disuruh nyokap lo dri..”
Adrian menegang. “ E..emang ibu kenapa son? Sakit? Kok dia ga nelpon gue sih?” ujarnya terbata – bata.
“ Nyokap lo sehat banget kok dri, Cuma dia khawatir liat berita di TV, dia nyuruh gue kesini buat liat lo, sekalian jemput lo balik ke Bandung”
“ Oh gitu..” lega merasuk tubuh Adrian. “ tapi kerjaan gue gimana son? Gue masih optimis loh ini semua bakal berakhir”
“ Udah lo balik aja, gue juga khawatir nih, kata temen gue yang di Priuk, air laut udah mulai pasang dan ga turun – turun.” Ujar Elson seraya membuka tasnya.
“ kasih gue waktu ya son, 2 hari ini aja buat beresin semuanya, lo bisa kan nemenin gue?”
“ santai aja, gue ambil cuti seminggu kok dri, eh ada makanan ga? Laper nih”
“ Ada, bentar gue bikinin dulu ya” cetus Adrian sambil beranjak menuju dapur kecilnya.
Malam itu mereka lewatkan dengan bersenda gurau, melepas rindu, bertukar cerita hingga larut malam. Adrian menyiapkan kasur ekstra untuk Elson.
“ Udah ga usah dri, kita tidur berdua aja, dingin banget juga, lo ada selimut kan?”
“…. Ada sih, yakin lo mau tidur berdua? Gw ngorok loh.” Adrian tertawa disela kejengahannya.
“ Udah biasa kale…” ejek Elson sambil berjalan menuju kamar mandi.
Akhirnya malam itu mereka tidur bersebelahan, merapatkan selimut, di sela badai dan hujan yang seakan tanpa hentinya menyiksa tanah Jakarta.
“ …dri, masih bangun kan?” bisik Elson.
“masih son, kenapa?”
“ .. kenapa lo belum juga punya pacar sih? Umur lo dah 30 loh”
Karena aku mencintaimu, masih belum mengerti juga? Pikir Adrian.
“ belum aja son, males juga kok gue..”
“ bukan karena gue kan dri?”
Adrian tercekat, “..mmaksud lo?”
Tiba – tiba Elson bangun dan menatap matanya, “ lo ga ada perasaan apa – apa kan sama gue selama ini?”
Oh shit! Adrian tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Elson, apa mungkin dia mengetahui perasaan Adrian selama ini?
“..ah jangan gila gitu dong, ya ngga mungkin lah gue suka sama lo, udah tidur deh udah jam satu nih..” rungut Adrian, matanya mulai basah.
“ iya becanda kok, gue tidur deeh..” balas Elson sambil membalikkan badan.
Keesokan paginya Adrian bersiap untuk pergi ke kantornya. Rupanya Elson juga berniat pergi untuk menemui beberapa temannya di Jakarta.
“ Ati – ati ya son, hari ini katanya masih ada demo mahasiswa di daerah semanggi, senayan sama thamrin.”
“ iya tenang aja gue ga ke daerah situ kok dri”
Mereka bergegas berangkat, dan berpisah di depan kantor Adrian. Entah kenapa Adrian merasa tidak enak hati. Dengan menggigil ia memasuki pelataran kantornya. Kantor Adrian berada di sebuah gedung mewah di daerah Thamrin. Ia tercengang ketika melihat isi kantornya yang biasanya ramai, kini hanya tertinggal satu orang, sekretarisnya, Ritta.
“ lho, rit, pada kemana nih orang – orang? “ tanyanya.
“ Waduh pak, pada kejebak banjir nih, ada yang mudik juga karena keluarganya khawatir sama kondisi kota, saya juga hari ini harus pulang cepat, soalnya anak saya demam tinggi” jawab Ritta. Wajahnya tampak khawatir.
“Oh my God, ya udahlah kamu pulang aja Rit, aku juga hari ini ga kemana – mana kok, mau bikin budget tahun depan aja di kantor.”
“ Beneran pak, ya udah saya pulang ya, file – file bapak sudah saya siapin di meja bapak.” Ujar Ritta seraya membereskan tasnya.
“ Oke, kamu ati – ati ya Rit..”
Adrian mengehempaskan tubuhnya di kursi kantornya. Bagaimana ini, pekerjaan menumpuk untuk pembuatan budget tahun 2014, tapi semua orang pergi dengan alasan masing – masing. Duh, kenapa harus begini sih? Rutuk Adrian.
Adrian melanjutkan pekerjaannya sampai siang itu, ia baru berhenti ketika perutnya mulai meronta. Adrian melirik jam tangannya, teringat akan Elson. Ia mengambil ponselnya dan mulai menelepon Elson.
“ Halo dri..”
“ Son, dimana lo? , kok ribut banget sih?” tanya Adrian, perasaannya kurang enak mendengar suara – suara di belakang Elson.
“ Aduh dri, gawat, gue kejebak demo nih, tadi taxi yang gue pake, diberentiin, gue sekarang di depan monas nih, kacau banget dri..” ujar Elson panik.
Detak jantung Adrian mulai berpacu kencang.
“ Oke, gue nyusul kesana ya son, lo jangan kemana – mana sampai gue dateng.”
“iya dri, gue tungguin lo disini..”
Secepat kilat Adrian membereskan barang – barangnya dan melesat menuju pelataran gedung untuk mencari Taxi.
Di luar dugaan, suasana di depan gedung sudah sangat kacau, kemacetan yang panjang, kerumunan manusia yang tak tentu arah, asap kendaraan yang dibakar memenuhi udara sekitar Adrian. Adrian meradang, perutnya serasa diaduk mencium bau ban dan mobil yang dibakar. Bercak cipratan darah di trotoar membuatnya limbung. Sejenak ia mendengar teriakan – teriakan lantang orang – orang di sekitarnya
“ Kita tidak butuh pemerintah yang goblok! Turunkan harga!”
Adrian tak mau membuang waktu lagi, ia menerobos kerumunan orang dan mulai berlari menuju monas, mencari Elson. Kekacauan itu ternyata berlangsung sepanjang Thamrin, Bundaran HI dan Lingkar Monas. Nafas Adrian memburu, ia harus mencari Elson ditengah kekacauan ini. Asap dari gas airmata yang dilempar petugas anti huru hara tak dipedulikannya, aku harus mencari Elson, tekadnya.
Sampai di lingkar monas, Adrian mulai mencari Elson dengan nafasnya yang terengah – engah, matanya mulai mencari sosok Elson. Tiba – tiba sekerumunan orang berteriak – teriak seraya memukuli seseorang ditengah – tengah mereka. Adrian berlari menghampiri kerumunan itu, tolong, jangan Elson, jangan.. Elson!
Elson yang sudah berlumuran darah berteriak – teriak minta ampun. Adrian meradang, berteriak lantang “ HEI!! HENTIKAN!!!!!” seraya menerobos kerumunan itu dan menutupi tubuh Elson dengan tubuhnya. “ PERGI KALIAN!!!” teriak Adrian, putus asa melihat kerumunan manusia yang seakan haus darah. Kerumunan itu terus memukuli Adrian, sampai Adrian tersungkur sambil tetap melindungi tubuh Elson dengan tubuhnya. Adrian merasakan tulangnya seakan remuk dihantam bertubi – tubi dengan berbatang – batang kayu yang mereka bawa. Entah kenapa, kerumunan itu mendadak bubar seraya berteriak ketakutan.
Adrian merasa begitu hancur, ia beranjak seraya melihat keadaan Elson, ternyata ia masih sadar, dengan begitu banyak luka di kepalanya akibat pukulan keras yang bertubi – tubi.
“ Elson, elson, lo masih bisa bangun?” tanya Adrian, matanya mulai basah.
“..dri, lo ga apa apa kan? “ rintih Elson.
“ Gue ga apa – apa son, gue ga apa – apa, lo bisa bangun?”
“ ..ga bisa dri, kaki gue mati rasa, kayanya kaki gue ketembak dri”
Adrian melihat pergelangan kaki Elson, dan pertahanan dirinya mulai runtuh, ia tak bisa menahan air matanya melihat keadaan Elson. Adrian mulai menyadari bahwa mereka berdua berada di tengah jalan raya yang masih riuh, tetapi orang - orang berlarian, ketakutan.
“…dri..” ujar Elson pelan, nafasnya mulai pendek
“ ya Elson..” jawab Adrian sambil menghapus airmatanya.
“.. gue tau kok semuanya, lo selama ini mencintai gue kan?”
“gimana lo bisa tau son?” airmata mulai membanjiri mata Adrian lagi.
“.. gue, uhukkk…, gue pernah baca tulisan lo di laptop lo waktu itu “
“ maafin gue son, gue ..gue .. ga bermaksud mengkhianati persahabatan kita.” Isak Adrian.
“..siapa yang mengkhianati dri, gue sayang sama lo dri, seharusnya gue sadar dari dulu kalo lo yang lebih mencintai gue dibanding semua perempuan yang pernah gue pacarin..”. Suara Elson mulai melemah.
“ Gue bukan gay dri.. tapi gue cinta sama lo..” lanjutnya pelan.
Adrian seakan kehilangan kontrol, ia memeluk Elson yang terbaring lemah dan menangis sejadi – jadinya. Ia mulai merasa pelukan Elson melemah.
“…jangan tinggalin gue son, jangan…” isak Adrian
Elson menggenggam tangan Adrian. Lalu genggaman itu lepas. Elson sudah meninggalkan Adrian. Untuk selama – lamanya.
“ TIDAAAAAAKKKK…!!!” jerit Adrian, hatinya sangat hancur, disaat ia dan Elson sudah mengetahui perasaan masing – masing, Elson meninggalkannya di tengah – tengah kekacauan Jakarta.
Tiba – tiba terdengar suara gemuruh keras, diiringi dengan getaran kencang tepat dibawah Adrian terduduk sambil memangku tubuh Elson. Adrian terpana melihat jalanan disekitarnya mulai meretak, pohon – pohon tumbang, diujung sama ia melihat tugu Monas kebanggaan Jakarta mulai bergetar hebat hingga akhirnya runtuh dan menimbulkan kepulan asap tebal yang membutakan mata.
Gemuruh itu semakin kencang, di sela – sela asap, Adrian melihat air setinggi gedung pencakar langit mulai mendekat. Tsunami! Di tengah kota! Artinya daerah pinggir laut sudah musnah! Adrian hanya terpana dan memeluk jenazah Elson seerat-eratnya. Ia pasrah ketika air itu mulai menelan tubuhnya dan Elson. Adrian hanya bisa memeluk Elson dan memasrahkan dirinya pada Tuhan.
“Ibu…maafkan Adrian bu…” ucapnya lirih sesaat sebelum ombak itu menimpa dan menelannya hidup – hidup.
Gunung Sahari, Jakarta July 27, 2008 20:59
Friday, August 15, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
good job Za... tapi kayaknya lebih asik kalo konfliknya ditambah ya... jangan terlalu linier, biar lebih gregetzz gitu lohhh...!!!
Post a Comment