Setelah lama banget ga nemu novel bagus, minggu lalu gue ngeliat satu novel yang judulnya sedikit intriguing, ‘ BEING ING’ pengarangnya Ucu Agustin, ternyata setelah gue baca, this is the cutest novel I’ve ever read! Kenapa cute? Ga tau ya, setelah selesai baca novel yang lucu dan mengharu biru ini, satu kata yang ada di kepala gue Cuma “cute”, mungkin karena tokoh Inggrid di novel ini berkesan cute aja kali ya. It’s about a girl named Ing (short for Inggrid) yang masih mempertanyakan jati dirinya di umur yang udah kepala 3, whether she’s gay or not. Ing ini jatuh cinta sama Ben, gay kelas kakap yang udah ga mungkin diconvert lagi. Seru sih ceritanya, the fact that you can’t tell that someone around you might be gay. Gay is the new gender of human race, so don’t be afraid of them, support them the way you support others. Itu salah satu pesen yang gue tangkep dari novel ini.
Satu hal yang bikin gue menghela nafas panjaaaaaaaang setelah baca novel ini adalah : Gue lupa rasanya jatuh cinta!!
Gue lupa rasanya gimana waktu muka memerah dan tersipu – sipu saat gue ketemu orang yang gue suka, gue lupa rasanya deg – degan ketika seseorang beradu pandang dengan gue, gue lupa rasanya jadi malu banget ketika ketemu orang yang gue taksir. My God, selama itukah gue ga jatuh cinta?
Apa mungkin efek jatuh cinta beda – beda ya? Ada orang yang tersipu – sipu, ada yang jadi diem, ada juga yang hatinya kaya ditusuk kalo ketemu orang yang ditaksir, kaya gue. Kenapa efeknya di gue langsung sakit ya? Mungkin karena gue selalu jatuh cinta sama orang yang ga mungkin buat gue. Kalo gue roboy mungkin gue harus ke bengkel nih, ngebenerin isi otak sama hati gue (robot mana punya hati??).
Rasanya pengen sih memulai sebuah hubungan spesial sama seseorang, gue Cuma gat au harus mulai dari mana, karena prosesnya cukup makan waktu, dan cukup makan hati. At the end of the road mungkin gue dah ga punya hati gara – gara ngejar cinta seseorang, ironis, mengingat jatuh cinta itu pake hati, bukan pake otak! Makanya jangan pernah nyalahin seseorang kalo jatuh cinta sama orang yang salah, soalnya cinta ga pake otak, ga pake logika, Cuma hati ketemu hati, mata ketemu mata dan bibir ketemu bibir, no brain needed!
Bukannya gue ga pernah usaha, chatting udah, land coffee udah (kopi darat maksudnya heehehe), ada yang bilang, Tuhan bakal ngebantuin kalo lo juga usaha keras, tapi ada juga yang bilang kalo jodoh ga usah dicari ntar juga dateng sendiri, gimana sih??
Yang gue butuh sekarang Cuma sebuah hubungan platonis aja, ga usah ribet – ribet mikirin sex, Cuma seseorang yang bisa sms – sms ga penting, nemenin belanja, nemenin makan kapan aja (jam 12 malem sekalipun). Simple bukan? Tapi susahnya minta ampun. Disaat temen – temen gue udah pada ganti – ganti pacar, gue ga punya satu pun yang bisa diganti – ganti. Well I just believe in Cinderella Philosophy, someone will eventually come, someone that is destined to be with you.
Oke, gue harus tidur nih, besok gue harus work-work-work-work, and sell-sell-sell-sell, and have sex-sex-sex-sex hahahahaha, oh I just need some love-love-love-love..
Jakarta, August 19, 2008 00.00
Monday, August 18, 2008
Friday, August 15, 2008
The Last Day of Jakarta
[Adrian & Elson]
Adrian merapatkan jaketnya, langit yang mendung dan udara yang menusuk membuatnya mempercepat langkahnya menuju tempat tinggalnya. Kamar yang disewanya terletak di daerah gunung sahari, di utara Jakarta. Sulit ia percaya bahwa kota ini bisa menjadi sedingin dan semuram ini. Pertama kali ia menjejakkan kakinya di Jakarta, tahun 2008 untuk mengejar karir dan melupakan luka hatinya yang tertinggal di Bandung. Dalam kurun waktu 5 tahun sejak ia tinggal di Jakarta, perlahan kota ini mulai muram, langit mendung mulai sering mendatangi, juga hujan deras yang tak hentinya mengunjungi tanah Jakarta yang gersang. Hujan yang menyebabkan banjir, kelaparan dan kerugian bermiliar – miliar dari warganya. Belum lagi bahan makanan dan bensin yang terus meroket. Demonstrasi mahasiswa yang tak lagi santun, dan pemerintah yang makin hari makin tak bisa dipercaya. Ini Jakarta, tahun 2013.
Adrian memutar kunci kamar sewaannya, masuk dan mulai melepas jaketnya sambil menggeletar kedinginan. Ia menekan tombol remote televisinya, mencari saluran berita, hal yang terus dilakukannya sejak 6 bulan lalu sepulang kerja, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Jakarta. Tergambar di layar televisinya, laporan badan meteorology dan geofisika tentang fenomena cuaca di Jakarta yang diguyur hujan badai tanpa henti.
Ia berbaring, tiba – tiba terlintas di benaknya, bagaimana jika ini pertanda hancurnya kota ini? Bukankan sudah pernah ada ramalan jika Jakarta akan tenggelam? Adrian menegang. Teringat ibunya yang begitu sabar menantinya pulang setiap 2 minggu, teringat Elson yang selalu siap menemaninya jika ia pulang ke Bandung. Elson yang diam – diam ia cintai selama 10 tahun. Elson yang selalu tersenyum, tanpa tahu apa yang ada di benak Adrian sebenarnya. Mereka tak pernah tahu kalau Adrian berbeda dengan pria kebanyakan, Adrian hanya mencintai Elson, seorang lelaki, seperti dirinya.
Tak pernah terbayangkan oleh Adrian jika ia harus terbuka mengenai keadaan dirinya pada ibunya. Ibunya yang cantik, tegar, sabar tetapi selalu mengingatkan Adrian, kalau dia tak mau Adrian menjadi gay di Jakarta.
“kamu jangan sampe jadi homo ya nak..” cetus ibunya setiap kali Adrian akan berangkat ke Jakarta. Adrian hanya tersenyum. Perih. Perih karena tak bisa jujur pada satu – satunya orang terpenting dalam hidupnya. Perih karena takut ibunya dan Elson takkan menerima kenyataan hidup Adrian yang berbeda.
Adrian menggeletar kedinginan, kamarnya yang seluas 4 x 6 itu mulai terasa sangat dingin, ia menutup jendela kamarnya. Pekerjaannya sebagai sales representative sebuah hotel ternama di Bandung mulai terasa semakin berat, bagaimana tidak, banyak Negara yang memberikan warganya Travel Warning agar tidak pergi ke Indonesia, ia juga mendengar, di Bali, banyak usaha yang bangkrut karena cuaca yang tak menentu membuat pantai – pantainya sangat berbahaya untuk dikunjungi. Tetapi Adrian tetap bertahan, baginya setidaknya ia masih memiliki pekerjaan yang bagus, bisa menghidupinya dan membayar hutang – hutangnya.
Tiba – tiba ia mendengar suara ketukan di pintunya, diantara suara angin badai dan hujan yang menderu kejam. Ia membuka pintu. Elson!
“Elson?..”
“Hai dri, sori gue ga ngabarin ya..” ucapnya seraya menggeletar kedinginan.
“ Oh ga pa pa kok, ayo masuk, diluar hujan gede kan?” Adrian berusaha menguasai dirinya. Ia terkejut sekaligus senang Elson tiba – tiba ada di pintu kamarnya, sejak Elson mempunyai pacar, Adrian berusaha menjaga jarak agar Elson tidak tahu bahwa Adrian sangat cemburu.
“ tumben sih lo kesini tiba – tiba, Jakarta lagi rawan loh son..”
“ iya gue tau, gue disini buat jemput lo, disuruh nyokap lo dri..”
Adrian menegang. “ E..emang ibu kenapa son? Sakit? Kok dia ga nelpon gue sih?” ujarnya terbata – bata.
“ Nyokap lo sehat banget kok dri, Cuma dia khawatir liat berita di TV, dia nyuruh gue kesini buat liat lo, sekalian jemput lo balik ke Bandung”
“ Oh gitu..” lega merasuk tubuh Adrian. “ tapi kerjaan gue gimana son? Gue masih optimis loh ini semua bakal berakhir”
“ Udah lo balik aja, gue juga khawatir nih, kata temen gue yang di Priuk, air laut udah mulai pasang dan ga turun – turun.” Ujar Elson seraya membuka tasnya.
“ kasih gue waktu ya son, 2 hari ini aja buat beresin semuanya, lo bisa kan nemenin gue?”
“ santai aja, gue ambil cuti seminggu kok dri, eh ada makanan ga? Laper nih”
“ Ada, bentar gue bikinin dulu ya” cetus Adrian sambil beranjak menuju dapur kecilnya.
Malam itu mereka lewatkan dengan bersenda gurau, melepas rindu, bertukar cerita hingga larut malam. Adrian menyiapkan kasur ekstra untuk Elson.
“ Udah ga usah dri, kita tidur berdua aja, dingin banget juga, lo ada selimut kan?”
“…. Ada sih, yakin lo mau tidur berdua? Gw ngorok loh.” Adrian tertawa disela kejengahannya.
“ Udah biasa kale…” ejek Elson sambil berjalan menuju kamar mandi.
Akhirnya malam itu mereka tidur bersebelahan, merapatkan selimut, di sela badai dan hujan yang seakan tanpa hentinya menyiksa tanah Jakarta.
“ …dri, masih bangun kan?” bisik Elson.
“masih son, kenapa?”
“ .. kenapa lo belum juga punya pacar sih? Umur lo dah 30 loh”
Karena aku mencintaimu, masih belum mengerti juga? Pikir Adrian.
“ belum aja son, males juga kok gue..”
“ bukan karena gue kan dri?”
Adrian tercekat, “..mmaksud lo?”
Tiba – tiba Elson bangun dan menatap matanya, “ lo ga ada perasaan apa – apa kan sama gue selama ini?”
Oh shit! Adrian tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Elson, apa mungkin dia mengetahui perasaan Adrian selama ini?
“..ah jangan gila gitu dong, ya ngga mungkin lah gue suka sama lo, udah tidur deh udah jam satu nih..” rungut Adrian, matanya mulai basah.
“ iya becanda kok, gue tidur deeh..” balas Elson sambil membalikkan badan.
Keesokan paginya Adrian bersiap untuk pergi ke kantornya. Rupanya Elson juga berniat pergi untuk menemui beberapa temannya di Jakarta.
“ Ati – ati ya son, hari ini katanya masih ada demo mahasiswa di daerah semanggi, senayan sama thamrin.”
“ iya tenang aja gue ga ke daerah situ kok dri”
Mereka bergegas berangkat, dan berpisah di depan kantor Adrian. Entah kenapa Adrian merasa tidak enak hati. Dengan menggigil ia memasuki pelataran kantornya. Kantor Adrian berada di sebuah gedung mewah di daerah Thamrin. Ia tercengang ketika melihat isi kantornya yang biasanya ramai, kini hanya tertinggal satu orang, sekretarisnya, Ritta.
“ lho, rit, pada kemana nih orang – orang? “ tanyanya.
“ Waduh pak, pada kejebak banjir nih, ada yang mudik juga karena keluarganya khawatir sama kondisi kota, saya juga hari ini harus pulang cepat, soalnya anak saya demam tinggi” jawab Ritta. Wajahnya tampak khawatir.
“Oh my God, ya udahlah kamu pulang aja Rit, aku juga hari ini ga kemana – mana kok, mau bikin budget tahun depan aja di kantor.”
“ Beneran pak, ya udah saya pulang ya, file – file bapak sudah saya siapin di meja bapak.” Ujar Ritta seraya membereskan tasnya.
“ Oke, kamu ati – ati ya Rit..”
Adrian mengehempaskan tubuhnya di kursi kantornya. Bagaimana ini, pekerjaan menumpuk untuk pembuatan budget tahun 2014, tapi semua orang pergi dengan alasan masing – masing. Duh, kenapa harus begini sih? Rutuk Adrian.
Adrian melanjutkan pekerjaannya sampai siang itu, ia baru berhenti ketika perutnya mulai meronta. Adrian melirik jam tangannya, teringat akan Elson. Ia mengambil ponselnya dan mulai menelepon Elson.
“ Halo dri..”
“ Son, dimana lo? , kok ribut banget sih?” tanya Adrian, perasaannya kurang enak mendengar suara – suara di belakang Elson.
“ Aduh dri, gawat, gue kejebak demo nih, tadi taxi yang gue pake, diberentiin, gue sekarang di depan monas nih, kacau banget dri..” ujar Elson panik.
Detak jantung Adrian mulai berpacu kencang.
“ Oke, gue nyusul kesana ya son, lo jangan kemana – mana sampai gue dateng.”
“iya dri, gue tungguin lo disini..”
Secepat kilat Adrian membereskan barang – barangnya dan melesat menuju pelataran gedung untuk mencari Taxi.
Di luar dugaan, suasana di depan gedung sudah sangat kacau, kemacetan yang panjang, kerumunan manusia yang tak tentu arah, asap kendaraan yang dibakar memenuhi udara sekitar Adrian. Adrian meradang, perutnya serasa diaduk mencium bau ban dan mobil yang dibakar. Bercak cipratan darah di trotoar membuatnya limbung. Sejenak ia mendengar teriakan – teriakan lantang orang – orang di sekitarnya
“ Kita tidak butuh pemerintah yang goblok! Turunkan harga!”
Adrian tak mau membuang waktu lagi, ia menerobos kerumunan orang dan mulai berlari menuju monas, mencari Elson. Kekacauan itu ternyata berlangsung sepanjang Thamrin, Bundaran HI dan Lingkar Monas. Nafas Adrian memburu, ia harus mencari Elson ditengah kekacauan ini. Asap dari gas airmata yang dilempar petugas anti huru hara tak dipedulikannya, aku harus mencari Elson, tekadnya.
Sampai di lingkar monas, Adrian mulai mencari Elson dengan nafasnya yang terengah – engah, matanya mulai mencari sosok Elson. Tiba – tiba sekerumunan orang berteriak – teriak seraya memukuli seseorang ditengah – tengah mereka. Adrian berlari menghampiri kerumunan itu, tolong, jangan Elson, jangan.. Elson!
Elson yang sudah berlumuran darah berteriak – teriak minta ampun. Adrian meradang, berteriak lantang “ HEI!! HENTIKAN!!!!!” seraya menerobos kerumunan itu dan menutupi tubuh Elson dengan tubuhnya. “ PERGI KALIAN!!!” teriak Adrian, putus asa melihat kerumunan manusia yang seakan haus darah. Kerumunan itu terus memukuli Adrian, sampai Adrian tersungkur sambil tetap melindungi tubuh Elson dengan tubuhnya. Adrian merasakan tulangnya seakan remuk dihantam bertubi – tubi dengan berbatang – batang kayu yang mereka bawa. Entah kenapa, kerumunan itu mendadak bubar seraya berteriak ketakutan.
Adrian merasa begitu hancur, ia beranjak seraya melihat keadaan Elson, ternyata ia masih sadar, dengan begitu banyak luka di kepalanya akibat pukulan keras yang bertubi – tubi.
“ Elson, elson, lo masih bisa bangun?” tanya Adrian, matanya mulai basah.
“..dri, lo ga apa apa kan? “ rintih Elson.
“ Gue ga apa – apa son, gue ga apa – apa, lo bisa bangun?”
“ ..ga bisa dri, kaki gue mati rasa, kayanya kaki gue ketembak dri”
Adrian melihat pergelangan kaki Elson, dan pertahanan dirinya mulai runtuh, ia tak bisa menahan air matanya melihat keadaan Elson. Adrian mulai menyadari bahwa mereka berdua berada di tengah jalan raya yang masih riuh, tetapi orang - orang berlarian, ketakutan.
“…dri..” ujar Elson pelan, nafasnya mulai pendek
“ ya Elson..” jawab Adrian sambil menghapus airmatanya.
“.. gue tau kok semuanya, lo selama ini mencintai gue kan?”
“gimana lo bisa tau son?” airmata mulai membanjiri mata Adrian lagi.
“.. gue, uhukkk…, gue pernah baca tulisan lo di laptop lo waktu itu “
“ maafin gue son, gue ..gue .. ga bermaksud mengkhianati persahabatan kita.” Isak Adrian.
“..siapa yang mengkhianati dri, gue sayang sama lo dri, seharusnya gue sadar dari dulu kalo lo yang lebih mencintai gue dibanding semua perempuan yang pernah gue pacarin..”. Suara Elson mulai melemah.
“ Gue bukan gay dri.. tapi gue cinta sama lo..” lanjutnya pelan.
Adrian seakan kehilangan kontrol, ia memeluk Elson yang terbaring lemah dan menangis sejadi – jadinya. Ia mulai merasa pelukan Elson melemah.
“…jangan tinggalin gue son, jangan…” isak Adrian
Elson menggenggam tangan Adrian. Lalu genggaman itu lepas. Elson sudah meninggalkan Adrian. Untuk selama – lamanya.
“ TIDAAAAAAKKKK…!!!” jerit Adrian, hatinya sangat hancur, disaat ia dan Elson sudah mengetahui perasaan masing – masing, Elson meninggalkannya di tengah – tengah kekacauan Jakarta.
Tiba – tiba terdengar suara gemuruh keras, diiringi dengan getaran kencang tepat dibawah Adrian terduduk sambil memangku tubuh Elson. Adrian terpana melihat jalanan disekitarnya mulai meretak, pohon – pohon tumbang, diujung sama ia melihat tugu Monas kebanggaan Jakarta mulai bergetar hebat hingga akhirnya runtuh dan menimbulkan kepulan asap tebal yang membutakan mata.
Gemuruh itu semakin kencang, di sela – sela asap, Adrian melihat air setinggi gedung pencakar langit mulai mendekat. Tsunami! Di tengah kota! Artinya daerah pinggir laut sudah musnah! Adrian hanya terpana dan memeluk jenazah Elson seerat-eratnya. Ia pasrah ketika air itu mulai menelan tubuhnya dan Elson. Adrian hanya bisa memeluk Elson dan memasrahkan dirinya pada Tuhan.
“Ibu…maafkan Adrian bu…” ucapnya lirih sesaat sebelum ombak itu menimpa dan menelannya hidup – hidup.
Gunung Sahari, Jakarta July 27, 2008 20:59
Adrian merapatkan jaketnya, langit yang mendung dan udara yang menusuk membuatnya mempercepat langkahnya menuju tempat tinggalnya. Kamar yang disewanya terletak di daerah gunung sahari, di utara Jakarta. Sulit ia percaya bahwa kota ini bisa menjadi sedingin dan semuram ini. Pertama kali ia menjejakkan kakinya di Jakarta, tahun 2008 untuk mengejar karir dan melupakan luka hatinya yang tertinggal di Bandung. Dalam kurun waktu 5 tahun sejak ia tinggal di Jakarta, perlahan kota ini mulai muram, langit mendung mulai sering mendatangi, juga hujan deras yang tak hentinya mengunjungi tanah Jakarta yang gersang. Hujan yang menyebabkan banjir, kelaparan dan kerugian bermiliar – miliar dari warganya. Belum lagi bahan makanan dan bensin yang terus meroket. Demonstrasi mahasiswa yang tak lagi santun, dan pemerintah yang makin hari makin tak bisa dipercaya. Ini Jakarta, tahun 2013.
Adrian memutar kunci kamar sewaannya, masuk dan mulai melepas jaketnya sambil menggeletar kedinginan. Ia menekan tombol remote televisinya, mencari saluran berita, hal yang terus dilakukannya sejak 6 bulan lalu sepulang kerja, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Jakarta. Tergambar di layar televisinya, laporan badan meteorology dan geofisika tentang fenomena cuaca di Jakarta yang diguyur hujan badai tanpa henti.
Ia berbaring, tiba – tiba terlintas di benaknya, bagaimana jika ini pertanda hancurnya kota ini? Bukankan sudah pernah ada ramalan jika Jakarta akan tenggelam? Adrian menegang. Teringat ibunya yang begitu sabar menantinya pulang setiap 2 minggu, teringat Elson yang selalu siap menemaninya jika ia pulang ke Bandung. Elson yang diam – diam ia cintai selama 10 tahun. Elson yang selalu tersenyum, tanpa tahu apa yang ada di benak Adrian sebenarnya. Mereka tak pernah tahu kalau Adrian berbeda dengan pria kebanyakan, Adrian hanya mencintai Elson, seorang lelaki, seperti dirinya.
Tak pernah terbayangkan oleh Adrian jika ia harus terbuka mengenai keadaan dirinya pada ibunya. Ibunya yang cantik, tegar, sabar tetapi selalu mengingatkan Adrian, kalau dia tak mau Adrian menjadi gay di Jakarta.
“kamu jangan sampe jadi homo ya nak..” cetus ibunya setiap kali Adrian akan berangkat ke Jakarta. Adrian hanya tersenyum. Perih. Perih karena tak bisa jujur pada satu – satunya orang terpenting dalam hidupnya. Perih karena takut ibunya dan Elson takkan menerima kenyataan hidup Adrian yang berbeda.
Adrian menggeletar kedinginan, kamarnya yang seluas 4 x 6 itu mulai terasa sangat dingin, ia menutup jendela kamarnya. Pekerjaannya sebagai sales representative sebuah hotel ternama di Bandung mulai terasa semakin berat, bagaimana tidak, banyak Negara yang memberikan warganya Travel Warning agar tidak pergi ke Indonesia, ia juga mendengar, di Bali, banyak usaha yang bangkrut karena cuaca yang tak menentu membuat pantai – pantainya sangat berbahaya untuk dikunjungi. Tetapi Adrian tetap bertahan, baginya setidaknya ia masih memiliki pekerjaan yang bagus, bisa menghidupinya dan membayar hutang – hutangnya.
Tiba – tiba ia mendengar suara ketukan di pintunya, diantara suara angin badai dan hujan yang menderu kejam. Ia membuka pintu. Elson!
“Elson?..”
“Hai dri, sori gue ga ngabarin ya..” ucapnya seraya menggeletar kedinginan.
“ Oh ga pa pa kok, ayo masuk, diluar hujan gede kan?” Adrian berusaha menguasai dirinya. Ia terkejut sekaligus senang Elson tiba – tiba ada di pintu kamarnya, sejak Elson mempunyai pacar, Adrian berusaha menjaga jarak agar Elson tidak tahu bahwa Adrian sangat cemburu.
“ tumben sih lo kesini tiba – tiba, Jakarta lagi rawan loh son..”
“ iya gue tau, gue disini buat jemput lo, disuruh nyokap lo dri..”
Adrian menegang. “ E..emang ibu kenapa son? Sakit? Kok dia ga nelpon gue sih?” ujarnya terbata – bata.
“ Nyokap lo sehat banget kok dri, Cuma dia khawatir liat berita di TV, dia nyuruh gue kesini buat liat lo, sekalian jemput lo balik ke Bandung”
“ Oh gitu..” lega merasuk tubuh Adrian. “ tapi kerjaan gue gimana son? Gue masih optimis loh ini semua bakal berakhir”
“ Udah lo balik aja, gue juga khawatir nih, kata temen gue yang di Priuk, air laut udah mulai pasang dan ga turun – turun.” Ujar Elson seraya membuka tasnya.
“ kasih gue waktu ya son, 2 hari ini aja buat beresin semuanya, lo bisa kan nemenin gue?”
“ santai aja, gue ambil cuti seminggu kok dri, eh ada makanan ga? Laper nih”
“ Ada, bentar gue bikinin dulu ya” cetus Adrian sambil beranjak menuju dapur kecilnya.
Malam itu mereka lewatkan dengan bersenda gurau, melepas rindu, bertukar cerita hingga larut malam. Adrian menyiapkan kasur ekstra untuk Elson.
“ Udah ga usah dri, kita tidur berdua aja, dingin banget juga, lo ada selimut kan?”
“…. Ada sih, yakin lo mau tidur berdua? Gw ngorok loh.” Adrian tertawa disela kejengahannya.
“ Udah biasa kale…” ejek Elson sambil berjalan menuju kamar mandi.
Akhirnya malam itu mereka tidur bersebelahan, merapatkan selimut, di sela badai dan hujan yang seakan tanpa hentinya menyiksa tanah Jakarta.
“ …dri, masih bangun kan?” bisik Elson.
“masih son, kenapa?”
“ .. kenapa lo belum juga punya pacar sih? Umur lo dah 30 loh”
Karena aku mencintaimu, masih belum mengerti juga? Pikir Adrian.
“ belum aja son, males juga kok gue..”
“ bukan karena gue kan dri?”
Adrian tercekat, “..mmaksud lo?”
Tiba – tiba Elson bangun dan menatap matanya, “ lo ga ada perasaan apa – apa kan sama gue selama ini?”
Oh shit! Adrian tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Elson, apa mungkin dia mengetahui perasaan Adrian selama ini?
“..ah jangan gila gitu dong, ya ngga mungkin lah gue suka sama lo, udah tidur deh udah jam satu nih..” rungut Adrian, matanya mulai basah.
“ iya becanda kok, gue tidur deeh..” balas Elson sambil membalikkan badan.
Keesokan paginya Adrian bersiap untuk pergi ke kantornya. Rupanya Elson juga berniat pergi untuk menemui beberapa temannya di Jakarta.
“ Ati – ati ya son, hari ini katanya masih ada demo mahasiswa di daerah semanggi, senayan sama thamrin.”
“ iya tenang aja gue ga ke daerah situ kok dri”
Mereka bergegas berangkat, dan berpisah di depan kantor Adrian. Entah kenapa Adrian merasa tidak enak hati. Dengan menggigil ia memasuki pelataran kantornya. Kantor Adrian berada di sebuah gedung mewah di daerah Thamrin. Ia tercengang ketika melihat isi kantornya yang biasanya ramai, kini hanya tertinggal satu orang, sekretarisnya, Ritta.
“ lho, rit, pada kemana nih orang – orang? “ tanyanya.
“ Waduh pak, pada kejebak banjir nih, ada yang mudik juga karena keluarganya khawatir sama kondisi kota, saya juga hari ini harus pulang cepat, soalnya anak saya demam tinggi” jawab Ritta. Wajahnya tampak khawatir.
“Oh my God, ya udahlah kamu pulang aja Rit, aku juga hari ini ga kemana – mana kok, mau bikin budget tahun depan aja di kantor.”
“ Beneran pak, ya udah saya pulang ya, file – file bapak sudah saya siapin di meja bapak.” Ujar Ritta seraya membereskan tasnya.
“ Oke, kamu ati – ati ya Rit..”
Adrian mengehempaskan tubuhnya di kursi kantornya. Bagaimana ini, pekerjaan menumpuk untuk pembuatan budget tahun 2014, tapi semua orang pergi dengan alasan masing – masing. Duh, kenapa harus begini sih? Rutuk Adrian.
Adrian melanjutkan pekerjaannya sampai siang itu, ia baru berhenti ketika perutnya mulai meronta. Adrian melirik jam tangannya, teringat akan Elson. Ia mengambil ponselnya dan mulai menelepon Elson.
“ Halo dri..”
“ Son, dimana lo? , kok ribut banget sih?” tanya Adrian, perasaannya kurang enak mendengar suara – suara di belakang Elson.
“ Aduh dri, gawat, gue kejebak demo nih, tadi taxi yang gue pake, diberentiin, gue sekarang di depan monas nih, kacau banget dri..” ujar Elson panik.
Detak jantung Adrian mulai berpacu kencang.
“ Oke, gue nyusul kesana ya son, lo jangan kemana – mana sampai gue dateng.”
“iya dri, gue tungguin lo disini..”
Secepat kilat Adrian membereskan barang – barangnya dan melesat menuju pelataran gedung untuk mencari Taxi.
Di luar dugaan, suasana di depan gedung sudah sangat kacau, kemacetan yang panjang, kerumunan manusia yang tak tentu arah, asap kendaraan yang dibakar memenuhi udara sekitar Adrian. Adrian meradang, perutnya serasa diaduk mencium bau ban dan mobil yang dibakar. Bercak cipratan darah di trotoar membuatnya limbung. Sejenak ia mendengar teriakan – teriakan lantang orang – orang di sekitarnya
“ Kita tidak butuh pemerintah yang goblok! Turunkan harga!”
Adrian tak mau membuang waktu lagi, ia menerobos kerumunan orang dan mulai berlari menuju monas, mencari Elson. Kekacauan itu ternyata berlangsung sepanjang Thamrin, Bundaran HI dan Lingkar Monas. Nafas Adrian memburu, ia harus mencari Elson ditengah kekacauan ini. Asap dari gas airmata yang dilempar petugas anti huru hara tak dipedulikannya, aku harus mencari Elson, tekadnya.
Sampai di lingkar monas, Adrian mulai mencari Elson dengan nafasnya yang terengah – engah, matanya mulai mencari sosok Elson. Tiba – tiba sekerumunan orang berteriak – teriak seraya memukuli seseorang ditengah – tengah mereka. Adrian berlari menghampiri kerumunan itu, tolong, jangan Elson, jangan.. Elson!
Elson yang sudah berlumuran darah berteriak – teriak minta ampun. Adrian meradang, berteriak lantang “ HEI!! HENTIKAN!!!!!” seraya menerobos kerumunan itu dan menutupi tubuh Elson dengan tubuhnya. “ PERGI KALIAN!!!” teriak Adrian, putus asa melihat kerumunan manusia yang seakan haus darah. Kerumunan itu terus memukuli Adrian, sampai Adrian tersungkur sambil tetap melindungi tubuh Elson dengan tubuhnya. Adrian merasakan tulangnya seakan remuk dihantam bertubi – tubi dengan berbatang – batang kayu yang mereka bawa. Entah kenapa, kerumunan itu mendadak bubar seraya berteriak ketakutan.
Adrian merasa begitu hancur, ia beranjak seraya melihat keadaan Elson, ternyata ia masih sadar, dengan begitu banyak luka di kepalanya akibat pukulan keras yang bertubi – tubi.
“ Elson, elson, lo masih bisa bangun?” tanya Adrian, matanya mulai basah.
“..dri, lo ga apa apa kan? “ rintih Elson.
“ Gue ga apa – apa son, gue ga apa – apa, lo bisa bangun?”
“ ..ga bisa dri, kaki gue mati rasa, kayanya kaki gue ketembak dri”
Adrian melihat pergelangan kaki Elson, dan pertahanan dirinya mulai runtuh, ia tak bisa menahan air matanya melihat keadaan Elson. Adrian mulai menyadari bahwa mereka berdua berada di tengah jalan raya yang masih riuh, tetapi orang - orang berlarian, ketakutan.
“…dri..” ujar Elson pelan, nafasnya mulai pendek
“ ya Elson..” jawab Adrian sambil menghapus airmatanya.
“.. gue tau kok semuanya, lo selama ini mencintai gue kan?”
“gimana lo bisa tau son?” airmata mulai membanjiri mata Adrian lagi.
“.. gue, uhukkk…, gue pernah baca tulisan lo di laptop lo waktu itu “
“ maafin gue son, gue ..gue .. ga bermaksud mengkhianati persahabatan kita.” Isak Adrian.
“..siapa yang mengkhianati dri, gue sayang sama lo dri, seharusnya gue sadar dari dulu kalo lo yang lebih mencintai gue dibanding semua perempuan yang pernah gue pacarin..”. Suara Elson mulai melemah.
“ Gue bukan gay dri.. tapi gue cinta sama lo..” lanjutnya pelan.
Adrian seakan kehilangan kontrol, ia memeluk Elson yang terbaring lemah dan menangis sejadi – jadinya. Ia mulai merasa pelukan Elson melemah.
“…jangan tinggalin gue son, jangan…” isak Adrian
Elson menggenggam tangan Adrian. Lalu genggaman itu lepas. Elson sudah meninggalkan Adrian. Untuk selama – lamanya.
“ TIDAAAAAAKKKK…!!!” jerit Adrian, hatinya sangat hancur, disaat ia dan Elson sudah mengetahui perasaan masing – masing, Elson meninggalkannya di tengah – tengah kekacauan Jakarta.
Tiba – tiba terdengar suara gemuruh keras, diiringi dengan getaran kencang tepat dibawah Adrian terduduk sambil memangku tubuh Elson. Adrian terpana melihat jalanan disekitarnya mulai meretak, pohon – pohon tumbang, diujung sama ia melihat tugu Monas kebanggaan Jakarta mulai bergetar hebat hingga akhirnya runtuh dan menimbulkan kepulan asap tebal yang membutakan mata.
Gemuruh itu semakin kencang, di sela – sela asap, Adrian melihat air setinggi gedung pencakar langit mulai mendekat. Tsunami! Di tengah kota! Artinya daerah pinggir laut sudah musnah! Adrian hanya terpana dan memeluk jenazah Elson seerat-eratnya. Ia pasrah ketika air itu mulai menelan tubuhnya dan Elson. Adrian hanya bisa memeluk Elson dan memasrahkan dirinya pada Tuhan.
“Ibu…maafkan Adrian bu…” ucapnya lirih sesaat sebelum ombak itu menimpa dan menelannya hidup – hidup.
Gunung Sahari, Jakarta July 27, 2008 20:59
PERTEMUAN
Malam itu aku akan bertemu dengannya, setelah berkali – kali aku menggagalkan janji kami untuk bertemu, akhirnya malam itu aku berhasil mengalahkan kegugupanku dan bertemu dengannya. Aku sendiri tak tahu kenapa aku begitu gugup hanya dengan memikirkannya. Kami sudah lama tidak bertemu, mungkin hampir sekitar 2 tahun. Kami pernah bekerja di satu perusahaan yang sama. Aku begitu menyukainya saat itu, mungkin sampai saat ini. Ia tak pernah tahu aku begitu mengaguminya, memimpikannya, dan berimajinasi bahwa pada satu saat dia akan mencintaiku. Impian kosong, kurasa.
Disaat aku begitu menginginkannya, dia menikah, dan aku tersentak, impianku hancur. Aku tak datang ke pernikahannya, saat itu aku sedang mengelola eksibisi, dan harus secepat mungkin pulang ke Bandung untuk mengejar keesokan harinya. Agaknya, itu cuma alasan, aku benar – benar tak ingin melihatnya ada di pelaminan bersama orang lain. Pernikahan itu betul – betul megah, sampai – sampai presiden pun datang untuk memberi selamat, kedengarannya agak berlebihan, tapi itulah kenyataannya, ayahnya pejabat besar yang dihormati di Jakarta, setidaknya itu yang kubaca di sudut Koran pagi.
Pertama kali bertemu, kami masih sama – sama kuliah di tempat yang sama di Bandung. Begitu banyak orang yang mengaguminya, tak sedikit juga yang menjadi pacarnya. Dia begitu bercahaya, senyum lebar yang memikat, tapi tak sedikit pun aku berani mendekatinya. Bahkan aku tak bermimpi bisa jadi temannya saat itu. Karena kesibukan dan waktu, aku berhasil melupakannya saat itu, aku berusaha menghindar tempat – tempat yang biasa menjadi tempat ia berkumpul bersama teman – temannya, kuhindari kemungkinan sedikit pun untuk bertemu dengannya. Aku tak ingin lepas control dan bertindak bodoh, aku juga tak mau mempermalukan dia didepan teman – temannya.
Bertahun – tahun berlalu. Saat itu, aku baru diterima di sebuah perusahaan yang cukup besar di Bandung. Aku mulai sering melakukan business trip ke Jakarta. Satu saat, aku bertemu dengan rekan kerjaku di Jakarta, dan ia memperkenalkan aku pada beberapa rekan di cabang perusahaan di Jakarta. Ia menunjukkan juga beberapa kartu nama kolega – koleganya di Jakarta. Aku terpana ketika melihat sebuah nama yang tidak asing, nama yang selalu ada di kepalaku sejak bertahun – tahun yang lalu, Dia, ternyata nasib akan mempertemukan kami lagi. Aku tak tahu apakah harus bahagia atau gugup karena aku akan bertemu dengannya. Seingatku, malam itu aku tak bisa tidur, memikirkan apa yang harus ku katakana apabila bertemu dengannya.
Ternyata baru tiga bulan kemudian aku baru bisa bertemu dengannya, seperti dulu, dia selalu terlihat mengagumkan. Segar dan menyenangkan, perlahan cahaya yang selama ini menjauhiku mulai datang dan bersinar kembali. Kami tertawa, mengenang masa lalu, mentertawakan kebodohan – kebodohan kami dimasa lalu, dan ia mempertanyakan masa – masa dimana aku tiba – tiba menghilang dari peredaran dan menyibukkan diri dengan tugas – tugas kuliahku. Aku tersipu, bagaimana aku bisa bilang kalau aku mencintainya dan berusaha menghindarinya agar tak bertindak bodoh?
Sejak itu hubungan kami membaik, kami sering berkirim SMS, tak jarang, ia meneleponku untuk sekedar menanyakan kabarku, atau dengan ucapan – ucapan di SMSnya yang singkat, tapi selalu berhasil membuat hatiku hangat. Rasa cinta itu mulai datang membuncah di hatiku. Setelah ia menikah, kami pernah melakukan perjalanan bisnis bersama, dan tinggal sebagai teman satu apartemen selama satu minggu di Surabaya. Seperti merasakan keajaiban, setiap malam aku melihatnya tidur, begitu menggilanya rasa ingin menyentuh dan memeluknya, tapi urung kulakukan karena aku tak ingin dia membenciku. Satu minggu itu adalah satu minggu yang terindah dalam hidupku, seakan aku memiliki seorang pelindung, yang sangat memperhatikan aku. Setelah itu kami sibuk dan tenggelam dalam kesibukan masing – masing. Aku pun mengundurkan diri dari perusahaan, dan memilih pindah ke Jakarta untuk mengejar karir.
Hingga malam ini, aku berusaha menghilangkan kegugupanku, aku harus bertemu dengannya. Hujan mulai menerpa tanah Jakarta. Kucegat taxi, dan berpesan agar secepatnya sampai di tempat pertemuanku dengannya. Jalanan yang macet karena hujan deras dan bisingnya suara klakson seakan tak kurasakan. Aku hanya memikirkan apa yang akan kubicarakan saat ku bertemu dengannya. Bagaimana kalau kami hanya mengobrol kaku? Bagaimana kalau dia tiba – tiba tidak datang? Tanpa sadar taxi yang kutumpangi telah sampai ke sebuah mall terbesar di Jakarta, tempat pertemuanku dengannya. Sebuah pesan SMS masuk, aku tersenyum, ternyata dia sudah datang dan memintaku untuk langsung masuk ke sebuah restoran.
Ia sudah menungguku, masih seperti dulu, selalu tampak mengagumkan, walau dengan jenggot dan cambang yang nyaris menutupi wajah rupawannya. Senyumnya mengembang, seakan ia tahu betapa aku ingin melihat senyumnya. Kami berbicara banyak sekali malam itu, bagai melepas rindu setelah bertahun – tahun tidak bertemu. Kami tertawa keras sekali, sampai membuat orang – orang di sekitar kami menengok. Aku tak peduli, aku begitu senang, bahagia bisa mengobrol dengan lelaki yang menjadi impianku sejak dulu.
Malam semakin larut, kami pun seakan masih tak puas mengobrol, kami pindah ke sebuah coffee house di mall tersebut. Tanpa sadar aku melirik telepon genggamnya, ada foto seorang wanita cantik dan seorang anak yang mirip sekali dengannya. Aku tertegun sejenak, dan sekali lagi aku merasa perih. Dia bertanya, kapan aku akan menyusulnya untuk menikah, memiliki istri dan anak? Aku tergelak dalam kegugupanku, bagaimana aku bisa mencari istri, kalau aku masih mencintai seorang lelaki seperti dirinya? Saat itu aku menyadari pintu masuk untuk mencintainya sudah tertutup. Aku tak mungkin terus mengejar – ngejarnya seperti orang yang tidak tahu diri. Aku tak mungkin mengganggu ketentraman rumah tangganya, aku bukan perusak rumah tangga orang, dan aku tak tahu apakah dia mencintai aku juga atau tidak. Kurasa tidak. Aku rasa sekarang ini aku cukup dengan menjadi sahabat terbaiknya. Melihatnya tersenyum padaku, rasanya sudah lebih dari cukup.
Akhirnya malam itu kami berpisah, dengan bersalaman, seperti layaknya dua lelaki sejati. Panas kurasakan di mataku saat melihat punggungnya kala ia beranjak pergi. Aku pun berjalan mencari taxi. Sunyi kurasakan dalam keramaian Jakarta di malam ini. Pertemuan, ya, pertemuan inilah yang terindah dalam hidupku. Walaupun rasanya aku sudah pasrah dan berhenti berharap. Kunaiki taxi pesananku dengan perasaan lega. Ponselku berbunyi, sebuah SMS darinya,
+62818678XXX
Boleh aku menginap di tempatmu malam ini? Rasanya aku masih ingin mengobrol lebih banyak…
Kubalas,
+62818556XXX
..Boleh lah, aku juga masih ingin mengobrol banyak..
Ternyata kesempatan itu masih ada..
Jakarta, 1 0 April, 2008 22:30
Disaat aku begitu menginginkannya, dia menikah, dan aku tersentak, impianku hancur. Aku tak datang ke pernikahannya, saat itu aku sedang mengelola eksibisi, dan harus secepat mungkin pulang ke Bandung untuk mengejar keesokan harinya. Agaknya, itu cuma alasan, aku benar – benar tak ingin melihatnya ada di pelaminan bersama orang lain. Pernikahan itu betul – betul megah, sampai – sampai presiden pun datang untuk memberi selamat, kedengarannya agak berlebihan, tapi itulah kenyataannya, ayahnya pejabat besar yang dihormati di Jakarta, setidaknya itu yang kubaca di sudut Koran pagi.
Pertama kali bertemu, kami masih sama – sama kuliah di tempat yang sama di Bandung. Begitu banyak orang yang mengaguminya, tak sedikit juga yang menjadi pacarnya. Dia begitu bercahaya, senyum lebar yang memikat, tapi tak sedikit pun aku berani mendekatinya. Bahkan aku tak bermimpi bisa jadi temannya saat itu. Karena kesibukan dan waktu, aku berhasil melupakannya saat itu, aku berusaha menghindar tempat – tempat yang biasa menjadi tempat ia berkumpul bersama teman – temannya, kuhindari kemungkinan sedikit pun untuk bertemu dengannya. Aku tak ingin lepas control dan bertindak bodoh, aku juga tak mau mempermalukan dia didepan teman – temannya.
Bertahun – tahun berlalu. Saat itu, aku baru diterima di sebuah perusahaan yang cukup besar di Bandung. Aku mulai sering melakukan business trip ke Jakarta. Satu saat, aku bertemu dengan rekan kerjaku di Jakarta, dan ia memperkenalkan aku pada beberapa rekan di cabang perusahaan di Jakarta. Ia menunjukkan juga beberapa kartu nama kolega – koleganya di Jakarta. Aku terpana ketika melihat sebuah nama yang tidak asing, nama yang selalu ada di kepalaku sejak bertahun – tahun yang lalu, Dia, ternyata nasib akan mempertemukan kami lagi. Aku tak tahu apakah harus bahagia atau gugup karena aku akan bertemu dengannya. Seingatku, malam itu aku tak bisa tidur, memikirkan apa yang harus ku katakana apabila bertemu dengannya.
Ternyata baru tiga bulan kemudian aku baru bisa bertemu dengannya, seperti dulu, dia selalu terlihat mengagumkan. Segar dan menyenangkan, perlahan cahaya yang selama ini menjauhiku mulai datang dan bersinar kembali. Kami tertawa, mengenang masa lalu, mentertawakan kebodohan – kebodohan kami dimasa lalu, dan ia mempertanyakan masa – masa dimana aku tiba – tiba menghilang dari peredaran dan menyibukkan diri dengan tugas – tugas kuliahku. Aku tersipu, bagaimana aku bisa bilang kalau aku mencintainya dan berusaha menghindarinya agar tak bertindak bodoh?
Sejak itu hubungan kami membaik, kami sering berkirim SMS, tak jarang, ia meneleponku untuk sekedar menanyakan kabarku, atau dengan ucapan – ucapan di SMSnya yang singkat, tapi selalu berhasil membuat hatiku hangat. Rasa cinta itu mulai datang membuncah di hatiku. Setelah ia menikah, kami pernah melakukan perjalanan bisnis bersama, dan tinggal sebagai teman satu apartemen selama satu minggu di Surabaya. Seperti merasakan keajaiban, setiap malam aku melihatnya tidur, begitu menggilanya rasa ingin menyentuh dan memeluknya, tapi urung kulakukan karena aku tak ingin dia membenciku. Satu minggu itu adalah satu minggu yang terindah dalam hidupku, seakan aku memiliki seorang pelindung, yang sangat memperhatikan aku. Setelah itu kami sibuk dan tenggelam dalam kesibukan masing – masing. Aku pun mengundurkan diri dari perusahaan, dan memilih pindah ke Jakarta untuk mengejar karir.
Hingga malam ini, aku berusaha menghilangkan kegugupanku, aku harus bertemu dengannya. Hujan mulai menerpa tanah Jakarta. Kucegat taxi, dan berpesan agar secepatnya sampai di tempat pertemuanku dengannya. Jalanan yang macet karena hujan deras dan bisingnya suara klakson seakan tak kurasakan. Aku hanya memikirkan apa yang akan kubicarakan saat ku bertemu dengannya. Bagaimana kalau kami hanya mengobrol kaku? Bagaimana kalau dia tiba – tiba tidak datang? Tanpa sadar taxi yang kutumpangi telah sampai ke sebuah mall terbesar di Jakarta, tempat pertemuanku dengannya. Sebuah pesan SMS masuk, aku tersenyum, ternyata dia sudah datang dan memintaku untuk langsung masuk ke sebuah restoran.
Ia sudah menungguku, masih seperti dulu, selalu tampak mengagumkan, walau dengan jenggot dan cambang yang nyaris menutupi wajah rupawannya. Senyumnya mengembang, seakan ia tahu betapa aku ingin melihat senyumnya. Kami berbicara banyak sekali malam itu, bagai melepas rindu setelah bertahun – tahun tidak bertemu. Kami tertawa keras sekali, sampai membuat orang – orang di sekitar kami menengok. Aku tak peduli, aku begitu senang, bahagia bisa mengobrol dengan lelaki yang menjadi impianku sejak dulu.
Malam semakin larut, kami pun seakan masih tak puas mengobrol, kami pindah ke sebuah coffee house di mall tersebut. Tanpa sadar aku melirik telepon genggamnya, ada foto seorang wanita cantik dan seorang anak yang mirip sekali dengannya. Aku tertegun sejenak, dan sekali lagi aku merasa perih. Dia bertanya, kapan aku akan menyusulnya untuk menikah, memiliki istri dan anak? Aku tergelak dalam kegugupanku, bagaimana aku bisa mencari istri, kalau aku masih mencintai seorang lelaki seperti dirinya? Saat itu aku menyadari pintu masuk untuk mencintainya sudah tertutup. Aku tak mungkin terus mengejar – ngejarnya seperti orang yang tidak tahu diri. Aku tak mungkin mengganggu ketentraman rumah tangganya, aku bukan perusak rumah tangga orang, dan aku tak tahu apakah dia mencintai aku juga atau tidak. Kurasa tidak. Aku rasa sekarang ini aku cukup dengan menjadi sahabat terbaiknya. Melihatnya tersenyum padaku, rasanya sudah lebih dari cukup.
Akhirnya malam itu kami berpisah, dengan bersalaman, seperti layaknya dua lelaki sejati. Panas kurasakan di mataku saat melihat punggungnya kala ia beranjak pergi. Aku pun berjalan mencari taxi. Sunyi kurasakan dalam keramaian Jakarta di malam ini. Pertemuan, ya, pertemuan inilah yang terindah dalam hidupku. Walaupun rasanya aku sudah pasrah dan berhenti berharap. Kunaiki taxi pesananku dengan perasaan lega. Ponselku berbunyi, sebuah SMS darinya,
+62818678XXX
Boleh aku menginap di tempatmu malam ini? Rasanya aku masih ingin mengobrol lebih banyak…
Kubalas,
+62818556XXX
..Boleh lah, aku juga masih ingin mengobrol banyak..
Ternyata kesempatan itu masih ada..
Jakarta, 1 0 April, 2008 22:30
HUJAN, PETIR & SANG PENDOSA
Hujan turun lagi dengan derasnya. Kasar, seakan marah akan dosa – dosa yang membakar manusia di tanah Jakarta ini. Aku begitu membenci hujan, juga petir. Bagiku hujan hanya melambangkan kemurungan, kesendirian, dan kesedihan yang membanjir. Petir, begitu menakutkan, bersuara keras, menyilaukan dan datang begitu saja. Kadang aku berharap hujan hanya turun setelah aku tidur dan berhenti sebelum ku terbangun.
Hujan, hanya mengingatkan aku akan dia, sang cinta dalam hidupku. Seolah masih berdengung dalam telingaku, cerita riangnya akan wanita yang ia sukai. Cinta yang lama telah ia nanti, cinta yang menurutnya baru ia temukan setelah sekian lama mencari tanpa hasil. Aku hanya tertegun, sampai aku menyadari bahwa aku seakan tidak merasakan apapun saat itu. Tidak sedih, tidak hancur, tidak menjerit dan meraung – raung pada Tuhan atas ketidakadilanNya. Tidak. Hanya kosong yang meluap menutupi dera hati yang seakan tertusuk pedang maha tajam. Aku lebih terkejut lagi ketika tanpa sadar aku berujar bahwa aku berharap wanita ini akan menjadi yang terbaik untuk dirinya. Bagai ada jiwa lain yang merasuk tubuhku, aku tersenyum.
Sungguh agung, kepasrahan yang Tuhan berikan kepadaku, aku seakan lupa akan doa – doaku, pintaku, dan permohonanku agar ia mencintai aku, betapapun cinta ini bergelimang dosa dan larangan dari semua orang. Betapa dulu aku menggila, meratap pada Tuhan agar diberi kesempatan untuk merasakan betapa indahnya rasa dicintai. Betapa aku seringnya menggigil, mengharapkan cintanya datang memeluk tubuhku dalam dinginnya malam yang membeku.
Baru saja dia meneleponku, bahagianya ia, resmi sudah hubungannya dengan wanita itu. Sekilas perih menoreh dadaku. Apakah wanita itu akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya? Berkorban sebanyak apa yang telah aku korbankan untuknya? Apakah dia akan selalu ada untuknya disaat ia membutuhkan dukungan? Apakah wanita itu akan tahan menghadapi amarahnya yang terkadang membabi buta? Apakah wanita itu akan mencintainya tanpa syarat?
Aku sang pencinta, sang pendosa, kurelakan berpuluh tubuh meregang diatas tubuhku agar aku bisa melupakan cintaku padanya, kurelakan rasa jijik datang setiap kali aku tergolek lemas dalam pelukan orang lain. Aku penuh dosa. Oh Tuhan, betapapun besarnya nafsu yang kuberikan pada orang lain, aku hanya mencintai dia, sang pangeranku, Tristanku, Romeoku, Pangeran berbaju zirahku, cinta dalam hidupku. Absurd.
Banjir datang lagi, seperti tidak tahu diri, kali ini aku hanya terdiam, betapa ku berharap banjir ini bisa merendam tubuhku, membawaku ke gelap niskala. Air mulai tinggi di sungai ini, derasnya air mulai berteriak, deru hujan yang kencang membuatku terhuyung di tepi sungai. Aneh, rasanya aku mulai menyukai hujan, suara petir yang membahana tak lagi membuatku tuli. Arus sungai seakan memanggil namaku., ini bukan akhir dari cintaku padanya, melebihi cintaku akan hidup. Kakiku mulai melangkah , dan aku membiarkan riak sungai menelan tubuhku, merendam wajah, paru – paru dan jantungku. Tuhan, bakar aku dalam apimu, sucikan jiwaku dari dosa yang mengerak. Tapi, jangan hilangkan cintaku padanya. Inilah akhir dosaku.
JAKARTA, 8 APRIL 2008, 21:43
Hujan, hanya mengingatkan aku akan dia, sang cinta dalam hidupku. Seolah masih berdengung dalam telingaku, cerita riangnya akan wanita yang ia sukai. Cinta yang lama telah ia nanti, cinta yang menurutnya baru ia temukan setelah sekian lama mencari tanpa hasil. Aku hanya tertegun, sampai aku menyadari bahwa aku seakan tidak merasakan apapun saat itu. Tidak sedih, tidak hancur, tidak menjerit dan meraung – raung pada Tuhan atas ketidakadilanNya. Tidak. Hanya kosong yang meluap menutupi dera hati yang seakan tertusuk pedang maha tajam. Aku lebih terkejut lagi ketika tanpa sadar aku berujar bahwa aku berharap wanita ini akan menjadi yang terbaik untuk dirinya. Bagai ada jiwa lain yang merasuk tubuhku, aku tersenyum.
Sungguh agung, kepasrahan yang Tuhan berikan kepadaku, aku seakan lupa akan doa – doaku, pintaku, dan permohonanku agar ia mencintai aku, betapapun cinta ini bergelimang dosa dan larangan dari semua orang. Betapa dulu aku menggila, meratap pada Tuhan agar diberi kesempatan untuk merasakan betapa indahnya rasa dicintai. Betapa aku seringnya menggigil, mengharapkan cintanya datang memeluk tubuhku dalam dinginnya malam yang membeku.
Baru saja dia meneleponku, bahagianya ia, resmi sudah hubungannya dengan wanita itu. Sekilas perih menoreh dadaku. Apakah wanita itu akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya? Berkorban sebanyak apa yang telah aku korbankan untuknya? Apakah dia akan selalu ada untuknya disaat ia membutuhkan dukungan? Apakah wanita itu akan tahan menghadapi amarahnya yang terkadang membabi buta? Apakah wanita itu akan mencintainya tanpa syarat?
Aku sang pencinta, sang pendosa, kurelakan berpuluh tubuh meregang diatas tubuhku agar aku bisa melupakan cintaku padanya, kurelakan rasa jijik datang setiap kali aku tergolek lemas dalam pelukan orang lain. Aku penuh dosa. Oh Tuhan, betapapun besarnya nafsu yang kuberikan pada orang lain, aku hanya mencintai dia, sang pangeranku, Tristanku, Romeoku, Pangeran berbaju zirahku, cinta dalam hidupku. Absurd.
Banjir datang lagi, seperti tidak tahu diri, kali ini aku hanya terdiam, betapa ku berharap banjir ini bisa merendam tubuhku, membawaku ke gelap niskala. Air mulai tinggi di sungai ini, derasnya air mulai berteriak, deru hujan yang kencang membuatku terhuyung di tepi sungai. Aneh, rasanya aku mulai menyukai hujan, suara petir yang membahana tak lagi membuatku tuli. Arus sungai seakan memanggil namaku., ini bukan akhir dari cintaku padanya, melebihi cintaku akan hidup. Kakiku mulai melangkah , dan aku membiarkan riak sungai menelan tubuhku, merendam wajah, paru – paru dan jantungku. Tuhan, bakar aku dalam apimu, sucikan jiwaku dari dosa yang mengerak. Tapi, jangan hilangkan cintaku padanya. Inilah akhir dosaku.
JAKARTA, 8 APRIL 2008, 21:43
Iced Caramel Macchiato, please?
“ Lo mau ga jadi pacar gue?”
Aku tersedak, caramel macchiato yang ada di dalam mulutkurasanya meronta ingin muncrat menyembur wajahnya. Kupaksakan menelannya sedikit demi sedikit diselingi batuk – batuk kecilku, yang, 80% karena gugup dan kaget, sisanya karena memang benar – benar tersedak!
Kupandangi sekilas wajahnya yang amazingly gorgeous itu, tulang wajah yang kentara, mata yang agak sipit, bibir yang merah, kumis tipis yang membiru (yes, dia cowok, kaget?!). Seperti di film – film, kilas pertemuanku dengannya mulai ditayangkan otakku seperti di layer bioskop.
Dulu, aku bertemu dengannya lewat chatting di Yahoo Messenger, klise memang, mengingat ,begitu banyak orang menggunakan fasilitas ini untuk mencari jodoh, or just to have a one night stand? Let just say, I’m in the middle of it. ID nya simple, Cuma Reno_81, so tipikal, nama-underscore-tahun lahir, nggak kreatif pikirku dengan sok kreatifnya. Tapi dia memilih tempat kopi darat kami dengan sangat kreatif, well, kreatif untuk orang yang punya ID seperti itu. Dia mengajakku bertemu di sebuah kafe diatas sebuah mall di kawasan semanggi. Aku yang lupa membawa sweater malam itu cukup kerepotan dengan angin Jakarta yang agak menusuk dan membuatku sedikit flu. Aku datang duluan waktu itu, again, seperti di film – film, dari kejauhan aku melihatnya datang, dengan kemeja garis – garis, celana bahan yang agak ketat, dan rambut pendeknya yang sedikit berkibar tertiup angin. Seperti di film – film romantis, aku rasa ludahku sedikit menetes melihatnya (film romantis yang mana ya yang tokohnya sampai ngiler begini?)
“Hai, Reza ya? Udah lama?” sapanya setelah benar – benar ada di depan wajahku.
“Oh, mm, belum kok, baru 5 menit gue nyampe, Reno kan?” gugupku. 5 menit? Rasanya aku sudah menunggu lebih dari 20 menit. But he’s worth the wait lah J
Malam itu kami mengobrol sampai lupa waktu, rasanya menyenangkan sekali mengobrol dengan orang yang benar – benar pintar seperti dia, rasanya kalau dibandingkan dengan kopi daratku yang lain, yang hanya cukup beberapa sapaan dan langsung menuju tempat tidur, pertemuanku dengan Reno, bagaikan angin segar di padang pasir (agak berlebihan ya?)
Sejak itu kami sering bertemu, di sela sela makan siang, di waktu pulang kantor, rasanya ada yang kurang kalau aku tidak mendengar suaranya di ponselku atau having lunch without him. Am I in love? Aku memang open minded, tapi aku selalu berpikir kalau hubungan antara dua pria itu sama sekali tidak ada life goalnya. Maybe it works for Elton John, or Lance Bass, but it doesn’t feel right for me. At all! Makanya aku juga masih mencari wanita, aku kagum dengan wanita, buatku mereka penuh dengan esensi kehidupan. What can I say? Men are for fun, and women are for life..
Okay, back to Reno, selama 2 bulan, kami selalu bertemu hampir tiap hari, saling menelepon hampir 2 kali sehari. Kebetulan kami sama – sama berkerja sebagai sales, yang membuat kami bisa mencuri – curi kesempatan untuk sekedar makan siang bersama, atau minum kopi di sore hari. Tempat minum kopi favorit kami, di Starbucks ® , tepatnya di Wisma BNI 46 di kawasan Sudirman. Semua berjalan sangat menyenangkan sampai di suatu sore yang cerah ceria itu..
He popped out the question..
Sumpah, aku merasa seperti dilamar, dilamar di Starbucks ® dengan mas kawin segelas Iced Caramel Macchiato dibayar tunai!
“kok lo bengong gitu sih?” tanya Reno, santai sambil menghirup cappucinonya
“ Lo serius dengan apa yang lo omongin barusan? “ tanyaku cemas
“ya serius lah, gue udah ngerasa cocok sama lo, kenapa kita ngga pacaran aja?” tanyanya lagi, kali ini dengan tampang serius.
Aku terhenyak, aku menyukai Reno, tapi bukankah hubungan seperti ini rentan dengan kecemburuan? Rentan dengan pengkhianatan? Kalau nanti kami putus akankah aku masih bisa bertemu dengannya?
“ Ren, emang kita harus pacaran untuk bisa sama – sama? Lo pasti tau lah, Cuma lo yang belakangan ini ngisi hari – hari gue, kalo kita pacaran, trus putus, trus ntar musuhan, dan gue ga akan bisa ketemu lo lagi, gue ga mau kaya gitu ren..” ujarku panjang.
“kamu berpikir terlalu jauh za, belum pacaran kok udah mikir putus sih?” cetus Reno.
“ bukannya gitu ren, lo tau kan kalo gue orangnya parno gini, lagian life goal kita apa nih? Kita sama – sama laki – laki dan Kita udah bukan ABG lagi ren..” sergahku, mulai panik.
Reno tampak berpikir mendengar ucapanku. Akankah dia mengerti?
“ Gue cinta elu za..” ujarnya sambil memandang mataku dalam – dalam.
Jderrrrrr.. he actually say THE word.. kata – kata yang seumur hidup belum pernah aku dengar terlontar untukku. Rasanya pertahanan diriku runtuh seketika, dan air mata buaya ini mulai mengalir. Reno selalu ada ketika aku membutuhkannya, setidaknya selama 3 bulan setelah kami berkenalan. Rasanya aku bisa mencoba mencintainya.
“ … Okay ren..” ucapku terbata – bata, “ Kita coba ya..” aku menyerah kalah pada pandangan mata sendu Reno yang seakan menghiba itu.
“ I’ll be good to you za..” ujarnya sambil tersenyum. Rasanya aku bisa langsung meleleh saat itu juga.
Obrolan kami sore itu terasa lebih menyenangkan setelah drama itu terjadi. Kami lebih membuka diri masing – masing, dan aku merasa telah menemukan seseorang yang aku cari selama ini. Well, sampai tiba – tiba ada seorang wanita cantik dengan sepatu Jimmy Choo menghampiri kami.
“ Mas, ngapain disini?” ujarnya sambil menepuk pundak Reno
“oh,hai, Ra, aku lagi ngopi nih sama temenku, kenalin, Reza” ujar Reno sedikit kaget seraya memperkenalkan aku dengan wanita itu, yang ternyata bernama Lara.
“ aku abis ketemu perancang, ren, buat kebaya pengantin” ujar Lara antusias
“O, Oya?” jawab reno gugup. Gugup? Entah kenapa perasaanku agak kurang enak.
“ Iya.. sekalian cek – cek catering, pagar ayu, pagar bagus, dekorasi dan lain – lain, kamu kan ga mau ngurusin!”
Kamu ga mau N-G-U-R-U-S-I-N? kata – kata itu berulang di benakku, dan aku pun bertanya,
“ Emang calon kamu siapa ra? Kok ga ikut ngurusin ?” tanyaku gemetar. Jangan – jangan….
“ Aduh za, emang Reno ga cerita ya, calonku kan Reno, kita bakal merit bulan depan, makanya aku lagi ribet ngurusin tetek bengeknya, eh, nanti kamu dateng ya, Reno pernah cerita juga tentang kamu deh kayanya” Ujarnya riang.
..dan segelas Iced Caramel Macchiato pun melayang menyirami kepala Reno, mengiringi hentakan langkahku meninggalkan tempat itu.
Rasanya untuk sementara waktu aku tidak akan minum kopi, chatting dan kopi darat, and most of all, no guys at the moment.
Jakarta, July 22, 2008, 22:12
NOT BRAVE ENOUGH
Baru pindah ke Jakarta nih, masih rada – rada hang over sama perubahan kehidupan gue dari yang sangat indah dan nyaman di Bandung, ke hidup di Jakarta yang hiruk pikuk, ditambah kos-kosan gue yang yaaaa… gitchu deyh kalo kata cinta laura.
Setelah gue pikir2, kenapa ya gue mau ninggalin kenyamanan gue di Bandung demi kerjaan di Jakarta yang gajinya ga jauh beda, emang posisi naek sih, jadi manager bo’.. goal gue akhirnya kesampean juga, jadi manager sebelum umur gue 30. Di sisi lain, kayanya ini pelarian gue juga sih, mencoba recover dari keadaan hati gue yang robek sana sini, cinta gue yang ga pernah berbalas di Bandung (ga usah nanya orangnya siapa yaaaa… Cuma Allah dan gue yang tau)
Seharusnya disini gue bisa ketemu orang baru, seharusnya disini gue bisa dapetin cinta baru, kenyataannya nol besar, bukan ga ada yang mau, barusan aja gue nolak orang yang rencananya mau jemput gue buat ke tempat dia malem ini, padahal sebelumnya gue yang maksa2 ketemuan, ternyata gue ga berani, gue belum mampu, masih terlalu banyak pertimbangan, gimana kalo begini, begitu, bla bla bla…
Pengennya sih ada orang yang kekeuh mau nyamperin gue, ngarep banget ya gue hahaha.. mana ada juga orang yang begitu sama orang yang belum pernah diketemuin sebelumnya, cabbbe deeeeh….
Keberanian itu buat gue dateng dengan berjuta pertimbangan, kalo pertimbangan gue mantap, ya gue jalan, tapi kalo ragu, mending ga usah, itu kata nyokap gue. Tapi kadang gue oon juga sih, kaya kemaren jalan kaki ke mangga dua square, yang gue pikir ih kayanya deket deeeeh, ternyata gempor banget, mana niatnya ngambil duit yang udah ga seberapa itu, eeeh atm2 sinting itu rusak semua (SEMUA!!!!!!!). Gitu deh kalo gue ngambil snap decision, ga selalu berakhir bagus.
Buat orang yang mo gue ketemuin hari ini (12-03-08), bukannya ga mau, gue Cuma mau lo lebih kekeuh berusaha nemuin gue, gue Cuma pengen tau rasanya. Tapi lo even ga bales sms gue, ya udah deh, kalo jodoh mah ga kemana2 bukan begitchu??
Yap, batere laptop dah mo dikubur nih, catch you guys later ya…
Setelah gue pikir2, kenapa ya gue mau ninggalin kenyamanan gue di Bandung demi kerjaan di Jakarta yang gajinya ga jauh beda, emang posisi naek sih, jadi manager bo’.. goal gue akhirnya kesampean juga, jadi manager sebelum umur gue 30. Di sisi lain, kayanya ini pelarian gue juga sih, mencoba recover dari keadaan hati gue yang robek sana sini, cinta gue yang ga pernah berbalas di Bandung (ga usah nanya orangnya siapa yaaaa… Cuma Allah dan gue yang tau)
Seharusnya disini gue bisa ketemu orang baru, seharusnya disini gue bisa dapetin cinta baru, kenyataannya nol besar, bukan ga ada yang mau, barusan aja gue nolak orang yang rencananya mau jemput gue buat ke tempat dia malem ini, padahal sebelumnya gue yang maksa2 ketemuan, ternyata gue ga berani, gue belum mampu, masih terlalu banyak pertimbangan, gimana kalo begini, begitu, bla bla bla…
Pengennya sih ada orang yang kekeuh mau nyamperin gue, ngarep banget ya gue hahaha.. mana ada juga orang yang begitu sama orang yang belum pernah diketemuin sebelumnya, cabbbe deeeeh….
Keberanian itu buat gue dateng dengan berjuta pertimbangan, kalo pertimbangan gue mantap, ya gue jalan, tapi kalo ragu, mending ga usah, itu kata nyokap gue. Tapi kadang gue oon juga sih, kaya kemaren jalan kaki ke mangga dua square, yang gue pikir ih kayanya deket deeeeh, ternyata gempor banget, mana niatnya ngambil duit yang udah ga seberapa itu, eeeh atm2 sinting itu rusak semua (SEMUA!!!!!!!). Gitu deh kalo gue ngambil snap decision, ga selalu berakhir bagus.
Buat orang yang mo gue ketemuin hari ini (12-03-08), bukannya ga mau, gue Cuma mau lo lebih kekeuh berusaha nemuin gue, gue Cuma pengen tau rasanya. Tapi lo even ga bales sms gue, ya udah deh, kalo jodoh mah ga kemana2 bukan begitchu??
Yap, batere laptop dah mo dikubur nih, catch you guys later ya…
Suppose to be posted 12 March, 2008
Good Enough
….Am I Good Enough?
Have I been Good Enough?..
…I completely lost myself and I don’t mind..
I just can say ‘no’ to you..
Am I Good Enough..?
(Evanescence)
Gue seorang yang terlalu banyak mikir perasaan orang, mau nyuruh ini, takut tersinggung, mau ngelakuin itu, takut ga enak, tapi orang laen rasanya ga pernah peduli perasaan gue.
Gue udah ngelakuin apa aja buat satu orang ini, 10 tahun terakhir gue udah ngerasa banyak banget yang udah gue kasih, waktu, tenaga, uang dan hati gue.
Tapi apakah gue good enough buat dia? Apakah semua yang gue lakuin punya arti dalam hidup dia, sebagaimana penuh artinya hidup gue karena dia.
I’m no angel, gue punya batasan sebagaimana manusia biasa yang banyak dosa, gue pada akhirnya perlu timbale balik atas apa yang udah gue lakuin, I don’t need money, I just need more attention and affection.
Akhir – akhir ini gue malah ngerasa numb banget, ga ada rasa, ga ada keinginan, toh yang gue mau cuma dia, dia dan dia. Gue pengen ngerasain perasaan gue berbalas.
Gue pikir gue siap buat mencari cinta baru, mencari seseorang yang baru, yang bisa ngajarin gue gimana rasanya dicintai.
Tapi ternyata ngga, gue belum siap, apapun yang gue lakuin, Cuma dia yang ada di kepala gue, Cuma dia bahan pertimbangan gue untuk segala hal, setelah nyokap gue tentunya.
Lelah, cape, fuuuuhhhh……
There are no conclusion of what love is…
Have I been Good Enough?..
…I completely lost myself and I don’t mind..
I just can say ‘no’ to you..
Am I Good Enough..?
(Evanescence)
Gue seorang yang terlalu banyak mikir perasaan orang, mau nyuruh ini, takut tersinggung, mau ngelakuin itu, takut ga enak, tapi orang laen rasanya ga pernah peduli perasaan gue.
Gue udah ngelakuin apa aja buat satu orang ini, 10 tahun terakhir gue udah ngerasa banyak banget yang udah gue kasih, waktu, tenaga, uang dan hati gue.
Tapi apakah gue good enough buat dia? Apakah semua yang gue lakuin punya arti dalam hidup dia, sebagaimana penuh artinya hidup gue karena dia.
I’m no angel, gue punya batasan sebagaimana manusia biasa yang banyak dosa, gue pada akhirnya perlu timbale balik atas apa yang udah gue lakuin, I don’t need money, I just need more attention and affection.
Akhir – akhir ini gue malah ngerasa numb banget, ga ada rasa, ga ada keinginan, toh yang gue mau cuma dia, dia dan dia. Gue pengen ngerasain perasaan gue berbalas.
Gue pikir gue siap buat mencari cinta baru, mencari seseorang yang baru, yang bisa ngajarin gue gimana rasanya dicintai.
Tapi ternyata ngga, gue belum siap, apapun yang gue lakuin, Cuma dia yang ada di kepala gue, Cuma dia bahan pertimbangan gue untuk segala hal, setelah nyokap gue tentunya.
Lelah, cape, fuuuuhhhh……
There are no conclusion of what love is…
Cisarua, 16 Agustus 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)