Friday, October 10, 2008

Sang Pencabut Nyawa



1 New Message
(Roberto) +62816667XXX
Malem, lagi apa kamu?

+62818210XXX
Lagi tiduran aja di kost, kangen kamu..

+62816667XXX
Aku juga kangen kamu, besok kita ketemu ya?

+62818210XXX
Oke, tempat biasa kan? See you

+62816667XXX
I Love You..

+62818210XXX
Love you even more..

Sms itu menutup malam sepiku. Sms ke 12 hari ini, belum lagi kami selalu chatting berjam – jam di depan computer, di sela – sela kesibukan kami yang menggila setiap harinya. Roberto, nama itu kini mengisi hari – hariku setahun belakangan, kedekatan kami seakan mendobrak batasan dunia maya, juga batasan norma. Aku seakan kehilangan semangat ketika beberapa bulan yang lalu, ia tiba – tiba tak membalas semua smsku, aku panik dan khawatir, ternyata ia lupa membawa ponselnya hari itu. Ponsel. Betul – betul sebuah keajaiban dunia yang sangat kusyukuri, sebuah alat yang bisa menyebarkan kasih sayang, walaupun terlarang.

Ia sudah menikah, dari awal aku sudah mengetahuinya, tapi aku seakan buta karena cinta, aku tak peduli jika istrinya membaca sms – sms romantis, bahkan terkadang panas dariku, aku tak peduli jika wanita itu menangis sepanjang malam menanti kedatangan suaminya yang tak kunjung pulang karena masih berkubang peluh di kost murahanku, aku tak peduli jika setiap tengah malam ia pulang hanya untuk memunggungi istrinya dan mendengkur setelah lelah mengadu berahi bersamaku. Cinta, memang berbahaya, aku sadari itu, tapi aku tak ingin mundur, aku ingin terjerat cinta bersama Roberto.

Sore ini aku akan bertemu Roberto, kali ini hanya untuk makan malam bersama, karena wanita sialan itu merengek pada Roberto agar ia bisa pulang lebih cepat malam itu. Kepusingan akan pekerjaanku hari itu seakan terbayar lunas, ketika aku melihat Roberto sudah duduk manis di meja café favorit kami.

“ Hai, udah lama? Sorry ya mas, aku kejebak kerjaan tadi..” Sapaku sambil tersenyum
“ You’re always worth to wait kok dik..” ujarnya sambil tertawa kecil, sungguh manis, sungguh tampan, seakan aku ingin menerjang dan menciuminya saat itu juga. Tapi tidak. Not in public, at least not in Indonesia.

Kami memesan makanan, seperti biasa kami terlibat pembicaraan seru, Roberto sangat konyol, dia bisa membuatku terbahak – bahak sampai orang yang ada di sebelahku menyingkir karena terganggu. Dia juga bisa serius hingga kadang aku terlibat perdebatan seru dengannya. Tetapi, topic pembicaraan hari itu agak berbeda.

“ Dik.. gimana perasaan kamu sama aku? “ tanya Roberto, ia tampak serius sekali. “ Kamu masih perlu nanya? Kamu kan tau aku cinta mati sama kamu..” ujarku sambil tersenyum.
Roberto mendesah dan melanjutkan “ Istriku udah tau tentang kita..”
Rasanya potongan fillet mignon yang ada dimulutku hendak mencelat keluar mendengar kata – katanya. Bagaimana bisa?
“ … Kok bisa? Dia baca sms – sms aku buat kamu?”
“ Iya, dan juga ada orang yang bilang kalau aku dan kamu sering keluar masuk hotel”
“ Kalau mau jujur, aku engga peduli mas, baguslah kalo dia udah tau”

Kulihat wajah Roberto memerah karena marah, ini kali kedua ia terlihat seperti itu, dulu ia pernah memakiku habis – habisan karena aku menelepon ke rumahnya. Kekasih gelap tak boleh menelepon ke rumah, katanya.

“ Gimana bisa kamu begitu?? Aku orang Batak dik, kalau sampai seluruh keluargaku tahu, aku bisa dibuang dari keluargaku tanpa uang sesen pun!”
“ Mas, kita bisa hidup bersama mas, kita bisa cari rumah untuk kita berdua, dan saling menghidupi!”
“ Absurd !, aku mencintai kamu dan istriku, kamu tahu itu, tapi aku tak bisa kehilangan keluargaku dik..”
“ Jadi mau kamu gimana? Kita putus, begitu??!” teriakku kalap dan putus asa.
“ Mungkin sementara kita ngga usah ketemu dulu dik..”
“ Kamu menyerah begitu aja? Aku udah kasih semuanya buat kamu, dan kamu menyerah? You’re giving up on us!”
“ Yang nyerah siapa? Aku Cuma mau kita berhenti bertemu sementara sampai suasananya reda antara aku dan istriku!” Roberto mulai murka.
“ Sampai kapan? Kamu pengecut mas!” teriakku. Aku benar – benar marah.
“ Terserah kamu lah..” Roberto benar – benar meninggalkanku. Rasanya aku ingin meloncat dari balkon restoran saat itu juga. Shit! Shit! Shit!

Gontai aku berjalan menuju kamar kostku yang pengap itu.
“ malem pak.. baru pulang?” sapa seseorang dari belakangku. Ia membawa sapu dan kain pel.
“ Iya, kamu pembantu baru disini? ..” tanyaku
“ betul pak, nama saya Yono.” Ujarnya
“ Oh, oke, saya ke kamar dulu ya Yon..” ucapku, lesu.
“ Baik, silakan pak..”

Aneh juga, setahun aku tinggal disini, tak pernah sekalipun aku melihat adanya pembantu, Ibu Maria, empunya tempat kost ku selalu mengerjakan semua kebutuhan kami sendiri, terkadang dibantu ketiga anaknya. Mungkin ia sudah lelah, dan membutuhkan pembantu.

Kuhempaskan tubuh penatku di tempat tidur, sambil memikirkan kejadian tadi, Putus? PUTUS? Mendadak aku terserang panik, aku tak pernah siap ditinggalkan Roberto, tidak setelah 1 tahun hubungan indah yang kami jalani, tidak tidak, ini tak boleh terjadi. Udara panas Jakarta seakan naik lagi beberapa derajat di kamarku, rasanya panas sekali, hingga aku kehabisan nafas. Dengan nafas memburu, dan amarah yang membludak aku berpakaian dan berlari keluar kamar. Tiba didepan gerbang rumah aku terhenti, pandanganku kabur, air mataku membanjir tak terkontrol, aku mencintai dia, rasanya ini tak adil bagiku, perempuan sialan itu bisa memiliki Roberto semaunya, sementara aku hanya mendapat sisa, sisa tubuh Roberto, sisa waktu Roberto, dan sisa – sisa lainnya.
“ ..Perlu bantuan pak? “ Tiba – tiba saja Yono sudah ada dibelakangku, melihatku dengan pandangan yang berbeda dari biasanya. Ada bungkusan plastik hitam digenggamannya.
“ eh.. ngga Yon, aku ngga apa – apa.” Ujarku sambil mengusap airmataku.
“ Ini buat bapak, siapa tau bisa berguna..” ucap Yono sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam itu ke tanganku. Ia tersenyum misterius.
Entah kenapa aku tak ingin menanyakan isi kantong plastik itu, tanpa banyak bicara lagi aku langsung berlari menuju jalan raya dan memanggil taksi. Aku harus ke rumah Roberto malam ini.

“ .. Permata Hijau pak.. “ ujarku gugup pada supir taksi yang baru kunaiki
Ia mengangguk. Sekilas ia melihat ke arahku, melihat kegugupanku, untungnya dia tak banyak bertanya. Tak henti – hentinya aku mengelap keringat dinginku, padahal taksi itu cukup dingin. Perjalanan itu terasa sangat lama bagiku. Aku tak bisa berpikir jernih, di kepalaku hanya ada Roberto, yang mungkin sedang meniduri istrinya malam ini. Perempuan itu, perempuan yang beruntung bisa memiliki Roberto seutuhnya, tidak seperti aku yang hanya bisa menikmati kebersamaanku dengan Roberto di malam – malam tertentu saja. Vivian, itu nama perempuan itu, cantik, tapi tanpa ambisi, kerjanya hanya mengurus rumah, memasak dan mengurus taman. Padahal ia lulusan sebuah universitas di Amerika Serikat. Hari begini, masih ada saja wanita yang menolak berkarier demi mengurus rumah dan suami, padahal mereka belum punya anak, seharusnya Vivian bisa tetap berkarier sesuai pendidikannya yang setinggi langit itu. Mungkin itu juga alasan Robert mencintai Vivian, sudah cantik, pandai mengurus rumah tangga pula. Emosiku seakan menggila ketika aku membayangkan kebersamaan mereka. Harusnya aku tak benci Vivian, harusnya aku membenci Robert, yang dengan mudahnya berpindah dari satu tempat tidur ke tempat tidur lainnya, dengan mudahnya pula ia merayuku bahwa ia mencintaiku dan juga istrinya. Bajingan itu, bajingan tampan sialan yang telanjur aku cintai.
Mendadak aku teringat akan bungkusan hitam yang diberikan Yono tadi, kira – kira apa isinya ya? Kurogohkan tanganku ke dalam plastik itu, aku merasakan sesuatu yang begitu dingin, kutarik tanganku dan mencoba melihat isinya dengan lebih jelas. Seketika aku tergeragap, isinya pistol.

“ .. bapak baik – baik saja pak?” sopir taksi itu mengagetkanku.
“ emhh.. eh.. saya ngga apa – apa pak, masih lama pak ?” ujarku sambil menutup kantong plastik itu dengan panik. Kenapa Yono memberiku pistol?
“ sebentar lagi sampai pak..” jawab supir taksi itu.

Akhirnya aku sampai di rumah Roberto. Hujan besar mulai turun membasahi tubuhku, tapi aku tak peduli. Rumah yang besar dan mewah, wajar saja ia tak rela meninggalkan istrinya demi aku yang bukan siapa – siapa ini. Dengan geram aku membuka pintu gerbangnya yang ternyata tak dikunci. Kulangkahkan kakiku dengan gugup kearah pintu rumahnya, tanganku mengenggam pistol yang entah sejak kapan sudah terlepas dari plastik pembungkusnya. Keringatku mengucur deras, kepalaku mendengung hingga langkahku terhuyung. Mendadak pintu itu terbuka lebar dan perempuan itu muncul di depan mukaku. Vivian! Aku tak siap menghadapinya saat itu walaupun aku berniat menghabisi nyawanya malam itu. Matanya nanar, seperti orang yang kehilangan kesadaran.
“ Mau apa kamu kesini??! “ teriaknya kencang disela petir dan hujan yang menggemuruh.
“ Aku mau bertemu Roberto! “ seruku tak kalah kencang
“ Kamu bener – bener ngga tau malu ya? Dia suami aku! Dan kamu udah berusaha merebut dia dari aku!” Vivian mulai menangis.
“ Merebut? Tanya Roberto siapa yang duluan memulai hubungan ini! Suami kamu yang brengsek!”
“ Pergi kamu! Homo sialan! Pergi!!” Vivian mulai kehilangan kendali. Aku menubruknya untuk masuk kedalam rumahnya. Vivian tersungkur terdorong tubuhku yang membabi buta.
“ Roberto!! Keluar kamu! Robertoo!!” teriakku putus asa memanggil nama kekasihku.
Tak ada jawaban. Ada sesuatu yang aneh yang terjadi di rumah yang gelap gulita itu, udaranya terasa lebih menyesakkan dari udara di luar. Kulihat Vivian hanya terduduk di pintu dengan terengah – engah, tanpa suara, hanya merintih tak jelas.

Kulihat pintu dapur menyala. Aku tahu ini dapurnya karena Roberto pernah mengajak aku ke rumah ini sewaktu istrinya keluar kota menengok ibunya yang sedang sakit keras. Perempuan bodoh itu mungkin tak tahu, meja dapur yang biasa ia pakai memotong – motong makanan untuk suami tercintanya, telah kami pakai sebagai tempat pelampiasan nafsu kami.

Aku berlari menuju dapur, berharap menemukan Roberto disana, aku menjejakkan kakiku dan terpeleset jatuh, tanganku meraba cairan merah yang meleleh di lantai dapur Vivian. Tanganku bergetar hebat dan rasa mual menguasai diriku. Darah! Aku bergerak mundur sampai aku melihat sesosok tubuh yang terbujur kaku di lantai dapur, sebilah pisau menancap di dadanya, Roberto! Rasa mual menghilang berganti kepanikan, aku mengguncang – guncang tubuhnya, berharap ia masih hidup dan bernafas, tapi tidak, Roberto sudah mati, aku menjeritkan namanya, air mataku membanjiri wajah Roberto bercampur dengan darah yang belum berhenti mengalir dari tubuhnya. Tiba – tiba aku merasakan sesuatu yang dingin di pelipisku. Aku tersadar, pistol yang sedari tadi aku genggam, telah hilang entah kemana. Vivian kini menempelkan pistol itu di tengkukku.
“ Tuh, Roberto sekarang boleh buat kamu, “ ucapnya dingin
“ ..k-kenapa Vivian? Kenapa kamu membunuh Roberto? Kamu mencintainya bukan?” ucapku terbata – bata, kakiku rasanya tak mampu lagi menopang berat tubuhku, Robertoku, Roberto yang sangat kucintai kini telah menjadi seonggok tubuh tanpa nyawa.
“ Ya aku memang mencintai dia, lebih dari apapun, semuanya aku berikan padanya, karirku, hidupku, segalanya hanya buat Roberto” ucapnya datar, nafasnya yang dingin berhembus di tengkukku.
“ Tapi dia memilih kamu, lelaki sialan yang seharusnya tidak ada dalam kehidupan kami.” Vivian semakin mendorong pistol itu di tengkukku, hingga aku mengerang ketakutan. Roberto memilihku? Pengakuan Vivian itu makin membuatku menjerit sejadi – jadinya. Seharusnya aku tak menyuruhnya memilih, seharusnya aku sadar diri akan posisiku yang hanya dapat mengecap setetes cintanya untukku. Robertoku..
“ Sekarang, siap – siap untuk menyusul Robertoku… di cerita manapun juga, selingkuhan sialan kayak kamu ngga mungkin menang..” ujarnya dingin, aku bisa mendengar dengan jelas, pelatuk pistol itu sudah ditariknya. Vivian tertawa kecil, yang terdengar seperti tawa kuntilanak bagiku. Perempuan ini sudah gila!

Kepanikanku mencapai puncaknya, dengan kecepatan yang aku sendiri tak mengerti darimana datangnya, aku mencabut pisau yang tertancap di dada Roberto dan menancapkannya di pinggang Vivian, tepat sebelum pistol itu meletus dan menyerempet pelipisku. Perempuan itu menjerit kencang sebelum akhirnya terduduk diam, mati. Darah mulai meleleh dari pinggangnya dan membasahi lantai dapur yang sudah terlebih dahulu dilumuri darah Roberto. Sakit luar biasa kurasakan di pelipisku, mataku sudah tak dapat melihat dengan jelas, aku terhuyung – huyung berusaha mencapai pintu dapur untuk keluar dari kegilaan ini. Susah payah aku merangkak menahan sakit dengan lumuran darah yang sudah menutupi pandanganku. Di pintu depan akhirnya aku bisa mengumpulkan kekuatan untuk berjalan menuju gerbang, sampai tiba – tiba aku mendengar letusan pistol dibelakangku, aku menoleh dan melihat Vivian mengarahkan senjata itu di hadapanku. Dengan pisau yang masih menancap, ia masih bisa menodongkan pistol itu dan tertawa lirih.
“ ..aku yang menang Chris.. aku yang menang.. “ ucapnya lirih. Aku tak mengerti, tiba – tiba kurasakan sakit yang teramat sangat datang dari perutku, kuraba dan aku merasakan ada cairan panas yang keluar dari perutku, darah. Ia sudah menembakku. Mulutku mulai memuntahkan darah segar, aku jatuh tertelungkup. Lalu gelap. Dingin.

Samar – samar dalam kegelapan aku melihat sosok Yono, tetapi ia tampak lebih pucat, mengenakan jubah hitam dan memegang kapak besar.

“ Pistolnya berguna juga kan pak?” tanyanya, dingin.

Bandung, October 4, 2008 23:18

Cinta dalam Niskala



Nama dan wajahnya tanpa sengaja kulihat di situs friendster sebulan yang lalu. Wajah yang begitu indah dengan nama yang begitu aku suka. Menakjubkan bagiku bahwa situs ini bisa memudahkan orang mencari jodoh atau pacar tanpa harus repot – repot mendaftar ke biro jodoh. Lagian sangatlah bodoh dan tidak mungkin jika aku menulis ke biro jodoh salah satu Koran, dengan mencantumkan ‘seorang laki – laki, 26 tahun, mapan, matang, dewasa, mencari calon suami yang perhatian, baik hati berusia diatas 30 tahun. Not going to happen in this country!
Anyway, entah kenapa aku begitu tergila – gila melihat wajahnya. Ia tidaklah sempurna, tetapi wajahnya begitu mempesona, tampan, mata yang agak sipit, dan jenggot kebiruan yang menghiasi wajahnya di semua foto yang ada di profilenya. Kuberanikan diri, menulis pesan murahan (karena aku tak tahu harus menulis apa lagi) “boleh kenalan ? “ dan (untungnya) dia membalas dengan ‘ boleh banget’.

Umurnya 33 tahun, dan dia sudah menikah, ketika kami sudah terbiasa bertegur sapa di Yahoo! Messenger, aku beranikan diri bertanya, apakah dia mencintai istrinya, dan ia pun mengiyakan sembari menambahkan kalau dia sangat mencintai istrinya, tetapi masih membutuhkan pelukan pria di malam – malamnya. Harusnya aku membenci dia saat itu juga, aku membutuhkan cinta, bukan hanya kepuasan nafsu semata, aku butuh pelukan tidak hanya saat aku telanjang, tetapi pelukan disaat aku berpakaian lengkap, ditempat umum jika perlu. Tapi, aku tidak membencinya, aku bahkan semakin menggilainya. Kuminta nomor ponselnya, dan mengirim pesan singkat, walaupun sebagian besar tak pernah dia balas. Aku bahkan mengirimkan fotoku dengan pose menantang untuknya, sesuai dengan yang ia minta. Aku merasa seperti manusia murahan yang mengiba cinta pada orang yang sebagian dirinya sudah dimiliki orang lain. Tapi, aku biarkan perasaan itu menguap, karena aku mencintainya.

Cukup aneh bahkan untuk orang yang aneh seperti aku, mencintai seseorang hanya dengan melihat fotonya. Hanya dengan menerima kata – kata indah yang ia ketik di messengerku, hanya dengan pesan – pesan singkat sederhana yang ia torehkan di ponselku. Aku tergila – gila padanya.

Aku ingin sekali bertemu dengannya, hanya makan malam saja cukup, tak perlu seks sesudahnya, walaupun dadaku berdesir setiap kali aku melihat fotonya yang baru keluar dari kolam renang, rasanya dada yang bidang itu seperti menarik – narik aku untuk mencumbuinya, dan bibirnya seakan berteriak untuk diciumi dan melumat bibirku tanpa ampun. Aku ingin menyerahkan diriku padanya, seutuhnya, jika ia bisa mencintai aku. Cinta, walaupun rasanya sudah muak mendengar kata itu, aku masih membutuhkan cinta dalam hidupku, untuk menerangiku, menuntunku dan menggumuliku.

Satu bulan ini aku berusaha agar ia menemuiku, tapi gagal karena ia terlalu banyak acara diluar kantor. Seringkali ia bilang kalau ia tak sabar untuk bertemu denganku, tapi nyatanya dia hanyalah seorang lelaki yang agak egois. Bukankah semua lelaki begitu? Aku tetap sabar sampai detik ini. Aku sangat yakin bahwa ia adalah seseorang yang sempurna untukku. Tak terbersit sedikitpun keraguan bahwa ia adalah orang yang salah. Aku menggilainya.

Saat itu aku hanya ingin dia, hanya dia, walaupun aku tak ingin merebutnya dari orang yang ia tiduri setiap malam. Aku hanya ingin secuil cintanya untukku, sedikit hangat tubuhnya untukku dan seulas senyumnya untukku. Hanya itu. Sampai saatnya tiba, aku akan menunggunya disini, ditengah kesendirian dan kesakitanku yang perlahan mulai memudar sejak aku menemukannya.

Saat itu pun tiba…

Hari itu tak biasanya ia meneleponku, bukannya selama ini ia tak mau meneleponku, aku yakin itu karena ia tak punya cukup waktu untuk itu, atau ia tak mau istrinya mengetahui bahwa suaminya sedang main gila dengan seorang lelaki. Tapi hari ini lain, mungkin birahinya sudah memuncak akibat foto yang aku kirim beberapa waktu yang lalu, mungkin juga ia sangat ingin bertemu denganku untuk mengetahui apakah aku nyata, sebagaimana akupun bertanya – tanya, apakah ia indah dan sempurna seperti yang aku bayangkan.

Ia meneleponku untuk membuat janji bertemu denganku hari ini. Kencan! Aku seperti melayang hari itu, semua pekerjaanku, janji dengan klien – klienku terasa begitu menyiksa, hari terasa begitu panjang karena aku menunggu tenggelamnya matahari untuk melihat sang pujaan jiwa. Janji kamu hari itu bertempat di sebuah restoran favoritnya di Plaza Senayan, aku tak begitu sering makan disana, karena kupikir itu terlalu mahal untuk ukuran kantongku yang sering merengek minta diisi. Kukirim pesan singkat untuk mengetahui keberadaannya saat itu, ternyata ia masih terjebak macet di semanggi. Aku pun mencari meja, dan memesan secangkir teh untuk meredakan kegugupanku.Kurasakan jantungku mulai berdetak kencang, kucoba menyalakan laptop ku dan membuka sebuah hidden folder yang berisikan foto – foto yang ia kirim padaku. Lagi – lagi aku tertegun melihat foto – foto itu, my charming king, too bad he already had his queen. Sudah sepatutnya bukan, lelaki setampan dia memiliki seorang queen, instead of a drag queen seperti aku? Aku sedikit terkikik, mendengar pikiranku sendiri.

“ Sammy?”

Panggilan itu membuatku tergelagap, Ya Tuhan! Ia berada tepat di hadapanku saat ini, Sang Raja tampanku, Tristanku, Romeoku. Wajahnya lebih indah dari apa yang biasa aku lihat di komputerku, badannya tinggi besar, senyumnya lebar dan pandangan matanya membuatku tak bisa berbicara saat itu.

“…Mm.. Raditya?” tanyaku, Bodoh, jelas – jelas orang ini memang Raditya yang sudah kutunggu – tunggu sejak tadi.
Pertemuan kami saat itu berlangsung cukup lama, kami bercanda, mengobrol mulai dari hal – hal sepele seperti acara TV kesukaannya, gadget favoritnya hingga masalah politik yang sebenarnya aku sebal membahasnya, tapi bagiku rasanya topik mengenai kotoran kambing pun akan terasa sangat menarik untuk dibahas bersamanya. Malam mulai beranjak, kami pun memutuskan untuk melangkahkan kaki kami menuju sebuah hotel di kawasan Wahid Hasyim, kebetulan istrinya sedang keluar kota, jadi ia bisa bebas menginap bersamaku malam itu. Harusnya aku merasa kasihan pada istrinya, disaat ia sedang bekerja di luar kota, suaminya malah memadu birahi bersamaku. Akal sehatku sudah tak bekerja dengan sehat lagi malam itu, aku hanya ingin bersamanya, apapun yang ia inginkan, akan kuberikan padanya.

Kami bercinta malam itu, walaupun aku tak yakin dia mencintaiku, tapi aku jelas – jelas mencintainya bahkan sebelum kami bertemu. Malam itu aku menyerah kalah, ketika bibirnya yang indah mulai menyentuh leher, kuping hingga perutku. Aku hanya bisa mendesah ketika jemari tangannya yang kokoh mulai menjelajahi bagian paling pribadiku. Bahkan aku menyerah ketika ia memaksa ingin memasuki diriku, aku menjerit dalam sakit dan nikmat ketika ia berada dalam diriku, hingga akhirnya tubuh berpeluh itu terkulai lemas diatas tubuhku. Aku mencintainya. Aku menggilainya.

Setelah hari itu, kami mulai membuat jadwal pertemuan, jadwal bercinta tepatnya, selalu dimulai dengan makan malam dan diakhiri dengan peluh dan pesanan room service di tengah pagi buta. Kadang ia memelukku sampai pagi, tapi tak jarang pula ia mengecup keningku dan meninggalkanku di tengah malam seperti pelacur. Tapi aku bahagia, karena ia selalu meneleponku di pagi hari, untuk menanyakan keadaanku. Aku selalu menjawab kalau aku baik – baik saja dan aku mencintainya. Walaupun ia tak pernah membalas pernyataan cintaku, aku tak mengeluh, karena aku tahu ia memiliki perasaan yang sama terhadapku. Cinta tak harus diucapkan di bibir, terkadang bisa diungkapkan dengan berbagai macam cara, tidur bersama misalnya.
Hari itu, tepat 6 bulan sejak pertemuan kami yang pertama, tepat 6 bulan pula sejak ia mengoyak dan menindih tubuhku. Aku mulai berpikir terlalu jauh tentang hubungan kami, aku mulai menuntut lebih dari hubungan seks setiap jumat malam. Aku ingin perhatian lebih, aku menginginkannya lebih dari apapun di dunia ini. Aku mulai bertanya kenapa ia tak pernah mengatakan bahwa ia mencintaiku, dan ia selalu mengalihkan pembicaraan. Aku teringat dulu diawal perkenalan kami, aku pernah menanyakan apakah ia mencintai istrinya, dan ia menjawab lugas bahwa ya, ia mencintai istrinya. Aku mulai sering mengirimkan pesan singkat lewat ponselku, hanya untuk bertanya, dia sedang ada dimana, sudah makan atau belum, dan pertanyaan – pertanyaan posesif lainnya. Ia tak pernah membalas.

Suatu malam, di sebuah kamar hotel, tepat setelah kami berdua terengah – engah dalam kubangan keringat kami, ponselku berdering, di seberang sana, ada suara wanita yang terdengar dingin, marah dan terluka. Sang ratu telah mengetahui semuanya, sang ratu ingin sang raja berhenti menemuiku, sang ratu ingin aku pergi dari kehidupannya dan sang raja. Kututup ponselku dan menyadari bahwa air mataku telah menggenang, air mata yang selama ini tak pernah mengalir semenjak ayahku meninggal 10 tahun yang lalu. Kuguncang tubuh Raditya dengan putus asa, kuciumi bibir dan tangannya sambil meraung kencang, aku tak ingin kehilangan dia, aku tak ingin malam – malamku tanpa kehadiran dia, aku tak ingin berhenti jadi gila karena menginginkannya. Kuceritakan apa yang terjadi, dan kusuruh ia pulang menemui istrinya. Ia hanya terdiam, tanpa bicara apa – apa langsung berpakaian, mengecup keningku dan meninggalkanku sendirian malam itu. Aku merangkak menuju kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutku.

Hari itu, tepat 7 hari setelah kejadian malam itu, 7 hari pula Raditya tidak menghubungiku, ponselnya tak pernah lagi aktif, messengernya pun begitu. Aku merasa hampa dan terbuang, kecewa dan terlunta. Insomnia mulai merayapi malam – malamku, hanya rokok dan berbotol – botol air putih menjadi sahabat sejatiku saat itu. Hingga malam itu, aku sudah tak tahan lagi, aku bergegas mencari alamat rumahnya, aku harus bertemu dengannya.

Taksi yang kutumpangi berhenti di depan sebuah rumah besar, di kawasan Jakarta Barat. Kulewati gerbang rumahnya yang setengah terbuka, setengah berlari menuju pintu rumah Raditya. Dengan gemetar kuketuk pintu itu perlahan, dan seraut wajah cantik muncul dari balik pintu. Wanita itu begitu cantik dan elegan, berperawakan ramping, dengan sepasang kaki jenjang yang mengintip di balik gaun tipisnya. Cantik, dingin dan terluka. Kuutarakan maksud kedatanganku untuk menemui Raditya, dan memperkenalkan namaku. Wanita itu meradang ketika mendengar namaku, ia menerjang, memukul, mencaci dan mencakariku seperti hewan buas yang terluka. Aku tersentak dan merasakan tubuhku sangat lemas tanpa bisa melawan semua pukulan dan caci makinya. Hingga akhirnya ia kelelahan dan meninggalkanku, aku hanya bisa terbaring di depan pintu rumah Raditya dengan luka – luka berdarah di wajah, lengan dan dadaku. Aku tak mampu lagi berdiri, rasa sesal dan sakit hatiku menggemuruh di dadaku. Tapi aku tak mampu bangkit dan membalas semua perlakuannya padaku. Memang seharusnya ini yang terjadi, aku sudah merusak kebahagiaan wanita ini, tapi bagaimana dengan kebahagiaanku? Apakah ada yang peduli? Seraut wajah indah yang amat kukenal datang menghampiri, tapi tampak pucat.
Ia meraih tubuhku, memeluk dan menangis sejadi – jadinya. Ia minta maaf, dan akhirnya ia mengatakan sebuah kalimat yang kuimpikan selama ini, Ia mencintaiku. Tapi semuanya sudah berakhir, ia tak mungkin meninggalkan istri dan anak – anaknya, ia sudah bersumpah di bawah Al – Quran bahwa ia tak akan pernah menemui aku lagi. Aku dianggap hina, nista dan haram buat Raditya.

Hari ini, sampai detik ini, aku masih mencintainya, tapi aku telah melepaskannya, aku tak menyesal, sakit yang kudera akibat siksaan dari istri Raditya, tak sebanding dengan luka menganga yang ada didalam jiwaku, luka yang perlahan mulai menutup dengan ketulusan, cinta sejati memang tak harus memiliki, cintaku pada Raditya tak akan pudar. Hanya waktu yang bisa mengikis cintaku padanya. Walaupun selamanya aku akan terjebak dalam niskala karenanya. Raditya, satu – satunya cinta dalam hidupku. Selamanya.


Bandung, October 3, 2008 00:55

Wednesday, October 08, 2008

Patience My Dear.. Patience..

giliran aku udah hampir nyerah karena ga bisa ketemuan kamu, giliran aku udah hampir capek karena kamu selalu ga bisa punya waktu buat aku, kamu sms aku ngajak ketemuan, pas aku lagi ga bisa.. aku masih ngarepin kamu banget, ga ada lagi orang yg aku harepin selain kamu saat ini.. I couldn't even think other person better than you.. wonder if there are any solution for us?