Friday, October 10, 2008

Sang Pencabut Nyawa



1 New Message
(Roberto) +62816667XXX
Malem, lagi apa kamu?

+62818210XXX
Lagi tiduran aja di kost, kangen kamu..

+62816667XXX
Aku juga kangen kamu, besok kita ketemu ya?

+62818210XXX
Oke, tempat biasa kan? See you

+62816667XXX
I Love You..

+62818210XXX
Love you even more..

Sms itu menutup malam sepiku. Sms ke 12 hari ini, belum lagi kami selalu chatting berjam – jam di depan computer, di sela – sela kesibukan kami yang menggila setiap harinya. Roberto, nama itu kini mengisi hari – hariku setahun belakangan, kedekatan kami seakan mendobrak batasan dunia maya, juga batasan norma. Aku seakan kehilangan semangat ketika beberapa bulan yang lalu, ia tiba – tiba tak membalas semua smsku, aku panik dan khawatir, ternyata ia lupa membawa ponselnya hari itu. Ponsel. Betul – betul sebuah keajaiban dunia yang sangat kusyukuri, sebuah alat yang bisa menyebarkan kasih sayang, walaupun terlarang.

Ia sudah menikah, dari awal aku sudah mengetahuinya, tapi aku seakan buta karena cinta, aku tak peduli jika istrinya membaca sms – sms romantis, bahkan terkadang panas dariku, aku tak peduli jika wanita itu menangis sepanjang malam menanti kedatangan suaminya yang tak kunjung pulang karena masih berkubang peluh di kost murahanku, aku tak peduli jika setiap tengah malam ia pulang hanya untuk memunggungi istrinya dan mendengkur setelah lelah mengadu berahi bersamaku. Cinta, memang berbahaya, aku sadari itu, tapi aku tak ingin mundur, aku ingin terjerat cinta bersama Roberto.

Sore ini aku akan bertemu Roberto, kali ini hanya untuk makan malam bersama, karena wanita sialan itu merengek pada Roberto agar ia bisa pulang lebih cepat malam itu. Kepusingan akan pekerjaanku hari itu seakan terbayar lunas, ketika aku melihat Roberto sudah duduk manis di meja café favorit kami.

“ Hai, udah lama? Sorry ya mas, aku kejebak kerjaan tadi..” Sapaku sambil tersenyum
“ You’re always worth to wait kok dik..” ujarnya sambil tertawa kecil, sungguh manis, sungguh tampan, seakan aku ingin menerjang dan menciuminya saat itu juga. Tapi tidak. Not in public, at least not in Indonesia.

Kami memesan makanan, seperti biasa kami terlibat pembicaraan seru, Roberto sangat konyol, dia bisa membuatku terbahak – bahak sampai orang yang ada di sebelahku menyingkir karena terganggu. Dia juga bisa serius hingga kadang aku terlibat perdebatan seru dengannya. Tetapi, topic pembicaraan hari itu agak berbeda.

“ Dik.. gimana perasaan kamu sama aku? “ tanya Roberto, ia tampak serius sekali. “ Kamu masih perlu nanya? Kamu kan tau aku cinta mati sama kamu..” ujarku sambil tersenyum.
Roberto mendesah dan melanjutkan “ Istriku udah tau tentang kita..”
Rasanya potongan fillet mignon yang ada dimulutku hendak mencelat keluar mendengar kata – katanya. Bagaimana bisa?
“ … Kok bisa? Dia baca sms – sms aku buat kamu?”
“ Iya, dan juga ada orang yang bilang kalau aku dan kamu sering keluar masuk hotel”
“ Kalau mau jujur, aku engga peduli mas, baguslah kalo dia udah tau”

Kulihat wajah Roberto memerah karena marah, ini kali kedua ia terlihat seperti itu, dulu ia pernah memakiku habis – habisan karena aku menelepon ke rumahnya. Kekasih gelap tak boleh menelepon ke rumah, katanya.

“ Gimana bisa kamu begitu?? Aku orang Batak dik, kalau sampai seluruh keluargaku tahu, aku bisa dibuang dari keluargaku tanpa uang sesen pun!”
“ Mas, kita bisa hidup bersama mas, kita bisa cari rumah untuk kita berdua, dan saling menghidupi!”
“ Absurd !, aku mencintai kamu dan istriku, kamu tahu itu, tapi aku tak bisa kehilangan keluargaku dik..”
“ Jadi mau kamu gimana? Kita putus, begitu??!” teriakku kalap dan putus asa.
“ Mungkin sementara kita ngga usah ketemu dulu dik..”
“ Kamu menyerah begitu aja? Aku udah kasih semuanya buat kamu, dan kamu menyerah? You’re giving up on us!”
“ Yang nyerah siapa? Aku Cuma mau kita berhenti bertemu sementara sampai suasananya reda antara aku dan istriku!” Roberto mulai murka.
“ Sampai kapan? Kamu pengecut mas!” teriakku. Aku benar – benar marah.
“ Terserah kamu lah..” Roberto benar – benar meninggalkanku. Rasanya aku ingin meloncat dari balkon restoran saat itu juga. Shit! Shit! Shit!

Gontai aku berjalan menuju kamar kostku yang pengap itu.
“ malem pak.. baru pulang?” sapa seseorang dari belakangku. Ia membawa sapu dan kain pel.
“ Iya, kamu pembantu baru disini? ..” tanyaku
“ betul pak, nama saya Yono.” Ujarnya
“ Oh, oke, saya ke kamar dulu ya Yon..” ucapku, lesu.
“ Baik, silakan pak..”

Aneh juga, setahun aku tinggal disini, tak pernah sekalipun aku melihat adanya pembantu, Ibu Maria, empunya tempat kost ku selalu mengerjakan semua kebutuhan kami sendiri, terkadang dibantu ketiga anaknya. Mungkin ia sudah lelah, dan membutuhkan pembantu.

Kuhempaskan tubuh penatku di tempat tidur, sambil memikirkan kejadian tadi, Putus? PUTUS? Mendadak aku terserang panik, aku tak pernah siap ditinggalkan Roberto, tidak setelah 1 tahun hubungan indah yang kami jalani, tidak tidak, ini tak boleh terjadi. Udara panas Jakarta seakan naik lagi beberapa derajat di kamarku, rasanya panas sekali, hingga aku kehabisan nafas. Dengan nafas memburu, dan amarah yang membludak aku berpakaian dan berlari keluar kamar. Tiba didepan gerbang rumah aku terhenti, pandanganku kabur, air mataku membanjir tak terkontrol, aku mencintai dia, rasanya ini tak adil bagiku, perempuan sialan itu bisa memiliki Roberto semaunya, sementara aku hanya mendapat sisa, sisa tubuh Roberto, sisa waktu Roberto, dan sisa – sisa lainnya.
“ ..Perlu bantuan pak? “ Tiba – tiba saja Yono sudah ada dibelakangku, melihatku dengan pandangan yang berbeda dari biasanya. Ada bungkusan plastik hitam digenggamannya.
“ eh.. ngga Yon, aku ngga apa – apa.” Ujarku sambil mengusap airmataku.
“ Ini buat bapak, siapa tau bisa berguna..” ucap Yono sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam itu ke tanganku. Ia tersenyum misterius.
Entah kenapa aku tak ingin menanyakan isi kantong plastik itu, tanpa banyak bicara lagi aku langsung berlari menuju jalan raya dan memanggil taksi. Aku harus ke rumah Roberto malam ini.

“ .. Permata Hijau pak.. “ ujarku gugup pada supir taksi yang baru kunaiki
Ia mengangguk. Sekilas ia melihat ke arahku, melihat kegugupanku, untungnya dia tak banyak bertanya. Tak henti – hentinya aku mengelap keringat dinginku, padahal taksi itu cukup dingin. Perjalanan itu terasa sangat lama bagiku. Aku tak bisa berpikir jernih, di kepalaku hanya ada Roberto, yang mungkin sedang meniduri istrinya malam ini. Perempuan itu, perempuan yang beruntung bisa memiliki Roberto seutuhnya, tidak seperti aku yang hanya bisa menikmati kebersamaanku dengan Roberto di malam – malam tertentu saja. Vivian, itu nama perempuan itu, cantik, tapi tanpa ambisi, kerjanya hanya mengurus rumah, memasak dan mengurus taman. Padahal ia lulusan sebuah universitas di Amerika Serikat. Hari begini, masih ada saja wanita yang menolak berkarier demi mengurus rumah dan suami, padahal mereka belum punya anak, seharusnya Vivian bisa tetap berkarier sesuai pendidikannya yang setinggi langit itu. Mungkin itu juga alasan Robert mencintai Vivian, sudah cantik, pandai mengurus rumah tangga pula. Emosiku seakan menggila ketika aku membayangkan kebersamaan mereka. Harusnya aku tak benci Vivian, harusnya aku membenci Robert, yang dengan mudahnya berpindah dari satu tempat tidur ke tempat tidur lainnya, dengan mudahnya pula ia merayuku bahwa ia mencintaiku dan juga istrinya. Bajingan itu, bajingan tampan sialan yang telanjur aku cintai.
Mendadak aku teringat akan bungkusan hitam yang diberikan Yono tadi, kira – kira apa isinya ya? Kurogohkan tanganku ke dalam plastik itu, aku merasakan sesuatu yang begitu dingin, kutarik tanganku dan mencoba melihat isinya dengan lebih jelas. Seketika aku tergeragap, isinya pistol.

“ .. bapak baik – baik saja pak?” sopir taksi itu mengagetkanku.
“ emhh.. eh.. saya ngga apa – apa pak, masih lama pak ?” ujarku sambil menutup kantong plastik itu dengan panik. Kenapa Yono memberiku pistol?
“ sebentar lagi sampai pak..” jawab supir taksi itu.

Akhirnya aku sampai di rumah Roberto. Hujan besar mulai turun membasahi tubuhku, tapi aku tak peduli. Rumah yang besar dan mewah, wajar saja ia tak rela meninggalkan istrinya demi aku yang bukan siapa – siapa ini. Dengan geram aku membuka pintu gerbangnya yang ternyata tak dikunci. Kulangkahkan kakiku dengan gugup kearah pintu rumahnya, tanganku mengenggam pistol yang entah sejak kapan sudah terlepas dari plastik pembungkusnya. Keringatku mengucur deras, kepalaku mendengung hingga langkahku terhuyung. Mendadak pintu itu terbuka lebar dan perempuan itu muncul di depan mukaku. Vivian! Aku tak siap menghadapinya saat itu walaupun aku berniat menghabisi nyawanya malam itu. Matanya nanar, seperti orang yang kehilangan kesadaran.
“ Mau apa kamu kesini??! “ teriaknya kencang disela petir dan hujan yang menggemuruh.
“ Aku mau bertemu Roberto! “ seruku tak kalah kencang
“ Kamu bener – bener ngga tau malu ya? Dia suami aku! Dan kamu udah berusaha merebut dia dari aku!” Vivian mulai menangis.
“ Merebut? Tanya Roberto siapa yang duluan memulai hubungan ini! Suami kamu yang brengsek!”
“ Pergi kamu! Homo sialan! Pergi!!” Vivian mulai kehilangan kendali. Aku menubruknya untuk masuk kedalam rumahnya. Vivian tersungkur terdorong tubuhku yang membabi buta.
“ Roberto!! Keluar kamu! Robertoo!!” teriakku putus asa memanggil nama kekasihku.
Tak ada jawaban. Ada sesuatu yang aneh yang terjadi di rumah yang gelap gulita itu, udaranya terasa lebih menyesakkan dari udara di luar. Kulihat Vivian hanya terduduk di pintu dengan terengah – engah, tanpa suara, hanya merintih tak jelas.

Kulihat pintu dapur menyala. Aku tahu ini dapurnya karena Roberto pernah mengajak aku ke rumah ini sewaktu istrinya keluar kota menengok ibunya yang sedang sakit keras. Perempuan bodoh itu mungkin tak tahu, meja dapur yang biasa ia pakai memotong – motong makanan untuk suami tercintanya, telah kami pakai sebagai tempat pelampiasan nafsu kami.

Aku berlari menuju dapur, berharap menemukan Roberto disana, aku menjejakkan kakiku dan terpeleset jatuh, tanganku meraba cairan merah yang meleleh di lantai dapur Vivian. Tanganku bergetar hebat dan rasa mual menguasai diriku. Darah! Aku bergerak mundur sampai aku melihat sesosok tubuh yang terbujur kaku di lantai dapur, sebilah pisau menancap di dadanya, Roberto! Rasa mual menghilang berganti kepanikan, aku mengguncang – guncang tubuhnya, berharap ia masih hidup dan bernafas, tapi tidak, Roberto sudah mati, aku menjeritkan namanya, air mataku membanjiri wajah Roberto bercampur dengan darah yang belum berhenti mengalir dari tubuhnya. Tiba – tiba aku merasakan sesuatu yang dingin di pelipisku. Aku tersadar, pistol yang sedari tadi aku genggam, telah hilang entah kemana. Vivian kini menempelkan pistol itu di tengkukku.
“ Tuh, Roberto sekarang boleh buat kamu, “ ucapnya dingin
“ ..k-kenapa Vivian? Kenapa kamu membunuh Roberto? Kamu mencintainya bukan?” ucapku terbata – bata, kakiku rasanya tak mampu lagi menopang berat tubuhku, Robertoku, Roberto yang sangat kucintai kini telah menjadi seonggok tubuh tanpa nyawa.
“ Ya aku memang mencintai dia, lebih dari apapun, semuanya aku berikan padanya, karirku, hidupku, segalanya hanya buat Roberto” ucapnya datar, nafasnya yang dingin berhembus di tengkukku.
“ Tapi dia memilih kamu, lelaki sialan yang seharusnya tidak ada dalam kehidupan kami.” Vivian semakin mendorong pistol itu di tengkukku, hingga aku mengerang ketakutan. Roberto memilihku? Pengakuan Vivian itu makin membuatku menjerit sejadi – jadinya. Seharusnya aku tak menyuruhnya memilih, seharusnya aku sadar diri akan posisiku yang hanya dapat mengecap setetes cintanya untukku. Robertoku..
“ Sekarang, siap – siap untuk menyusul Robertoku… di cerita manapun juga, selingkuhan sialan kayak kamu ngga mungkin menang..” ujarnya dingin, aku bisa mendengar dengan jelas, pelatuk pistol itu sudah ditariknya. Vivian tertawa kecil, yang terdengar seperti tawa kuntilanak bagiku. Perempuan ini sudah gila!

Kepanikanku mencapai puncaknya, dengan kecepatan yang aku sendiri tak mengerti darimana datangnya, aku mencabut pisau yang tertancap di dada Roberto dan menancapkannya di pinggang Vivian, tepat sebelum pistol itu meletus dan menyerempet pelipisku. Perempuan itu menjerit kencang sebelum akhirnya terduduk diam, mati. Darah mulai meleleh dari pinggangnya dan membasahi lantai dapur yang sudah terlebih dahulu dilumuri darah Roberto. Sakit luar biasa kurasakan di pelipisku, mataku sudah tak dapat melihat dengan jelas, aku terhuyung – huyung berusaha mencapai pintu dapur untuk keluar dari kegilaan ini. Susah payah aku merangkak menahan sakit dengan lumuran darah yang sudah menutupi pandanganku. Di pintu depan akhirnya aku bisa mengumpulkan kekuatan untuk berjalan menuju gerbang, sampai tiba – tiba aku mendengar letusan pistol dibelakangku, aku menoleh dan melihat Vivian mengarahkan senjata itu di hadapanku. Dengan pisau yang masih menancap, ia masih bisa menodongkan pistol itu dan tertawa lirih.
“ ..aku yang menang Chris.. aku yang menang.. “ ucapnya lirih. Aku tak mengerti, tiba – tiba kurasakan sakit yang teramat sangat datang dari perutku, kuraba dan aku merasakan ada cairan panas yang keluar dari perutku, darah. Ia sudah menembakku. Mulutku mulai memuntahkan darah segar, aku jatuh tertelungkup. Lalu gelap. Dingin.

Samar – samar dalam kegelapan aku melihat sosok Yono, tetapi ia tampak lebih pucat, mengenakan jubah hitam dan memegang kapak besar.

“ Pistolnya berguna juga kan pak?” tanyanya, dingin.

Bandung, October 4, 2008 23:18

No comments: