Thursday, March 11, 2010

The Last Day Of Jakarta [EPILOG]


EPILOG

Jakarta, 21 February 2013.

Tiada kata yang bisa menjelaskan situasi kota ini selain, Hancur. Tsunami yang menghantam seluruh area kota tak terkecuali, telah membuat pemandangan yang mengerikan dan menjijikkan. Gedung – gedung tinggi hancur, air laut masih mengalir kencang, menenggelamkan kota ini dalam sisa –sia nafasnya. Mayat – mayat bergelimpangan, sebagian mengapung di tengah aliran air yang semakin deras. Sebagian tergantung gantung bahkan tersangkut di jendela gedung – gedung tinggi. Jakarta yang begitu dibanggakan penduduknya, kini tak ubahnya seperti kota mati, dingin dan penuh aroma kematian.

Mia tergeragap, kepalanya pusing, dahi dan kepalanya terluka. Ia berusaha bangun dan menggerakkan kakinya, tapi tak bisa, kakinya terjepit pilar yang jatuh menimpanya. Mia berusaha menariknya, berhasil, tapi kakinya tak lagi bisa digerakkan. Mia melihat sekelilingnya sambil berusaha mengingat – ingat apa yang sudah terjadi. Tadi ia hanya meninggalkan kantornya sebentar untuk merokok sebentar di lantai atas. Hingga tiba – tiba ia melihat gelombang air laut setinggi langit menimpa gedungnya. Dan disinilah ia, terluka, dan nyaris lumpuh.

Sambil merangkak kesakitan Mia bergerak menuju arah cahaya yang datang dari sela – sela reruntuhan ini. Seharusnya ia berada di lantai 30 gedung ini, tetapi ketika ia melihat keluar, rasanya tak percaya melihat tinggi air sudah hampir merendam seluruh kota ini. Mia tak menangis, ia memang tak bisa menangis, air matanya sudah habis ketika ayah dan ibunya meninggal dulu, airmatanya juga sudah tak bisa mengalir ketika seorang pemabuk merenggut kehormatannya dengan paksa. Pemabuk yang ia panggil paman. Kenangan menjijikkan itu bermunculan dikepalanya seperti video.

Malam itu, tepat 2 bulan setelah kematian kedua orangtuanya akibat kecelakaan di jalan tol, Mia yang baru berusia 18 tahun saat itu, tengah menangis di kamarnya. Hingga tiba – tiba pintu kamarnya yang terkunci didobrak oleh seseorang. Pamannya yang sudah bertelanjang dada, berdiri didepan pintu kamarnya, dengan wajah merah penuh nafsu menjijikkan. Sia – sia Mia berusaha berteriak atau lari, rumah itu kosong, hanya ada ia dan pamannya yang ditugaskan oleh keluarga besar Mia untuk menjaga Mia. Di tengah tangis dan amarahnya, Mia berusaha meronta, tapi semua pertahanannya tak berguna, tubuh pamannya yang begitu besar seperti monster yang sedang melahap mangsanya. Kehormatannya terenggut begitu saja. Meninggalkan tangis dan amarah yang meluap. Lelaki itu pergi entah kemana setelah kejadian malam itu. Alasan ini pula yang membuat Mia tak pernah berhubungan dengan lelaki manapun.

Isi perut Mia seakan meronta keluar, mengingat kejadian naas itu, ia memuntahkan isi perutnya, dengan rasa jijik dan amarah yang kembali membakar.

Rasanya begitu sepi, sepertinya Mia adalah satu – satunya manusia yang selamat dalam bencana ini. Ia menatap sekelilingnya berharap ada seseorang, yang juga selamat. Tapi tak ada, tak ada tanda – tanda kehidupan, hanya mayat – mayat yang bergelimpangan, menimbulkan bau busuk yang menusuk hidung Mia. Ia muntah, lalu merasa lapar, teramat lapar, perutnya terasa sakit.

Mia merangkak menuju sebuah reruntuhan pilar yang menjulur keluar, tepat diatas lautan air yang sudah mulai tenang. Matanya mulai mencari, mencari seseorang, siapapun itu, mulutnya merintih menahan sakit di pergelangan kakinya. Sebelum mencapai ujung, ia berhenti untuk melihat kakinya yang patah, jejak darah berlumuran di reruntuhan, Mia merasa lemas, rasanya ia sudah terlalu banyak mengeluarkan darah.

Tiba – tiba seberkas sinar menyilaukan muncul dari langit, sinar yang semakin membesar, membuat pemandangan mengerikan di sekitar Mia menjadi memutih, Mia menjerit, matanya seakan terbakar. Sinar mataharikah ini? Mengapa begitu membutakan mata? Inikah akhir dunia ini? Mia merangkak sembari menarik kakinya yang patah, rasa sakit sudah tak ia hiraukan, hingga sampailah Mia diujung sebuah tiang beton besar yang menjorok keluar.

Mia menengadahkan kepalanya, mencoba melihat langit diantara sinar yang Maha terang yang hampir membakar matanya. Nihil, langit begitu terang seperti terbakar, Mia mencoba berbaring tertelungkup, tenaganya sudah hampir mencapai batasnya.

Dari kejauhan Mia mendengar suara ledakan besar, seakan membuat telinganya nyaris tuli, Mia mencoba bangkit dan melihat apa yang terjadi, ledakan dahsyat itu tampak mendekat, dan semakin mendekat. Mia gemetar, inilah akhirnya, semuanya hancur, dan inilah akhir hidupnya. Tepat sebelum ledakan itu mencapai dirinya, Mia menjatuhkan dirinya kedalam lautan api dibawahnya.

“Tuhan, terimalah aku dalam pelukanmu..”

Hari itu, 21 February 2013, meleset beberapa bulan dari ramalan kuno bangsa Aztec yang meramalkan akhir dunia akan terjadi di tahun 2012, adalah akhir dunia, akhir dari segala kesenangan dan penderitaan. Semuanya hancur, luluh lantak, seakan Tuhan memutuskan untuk menghancurkan semuanya untuk membangun bumi baru yang lebih baik.

Sang Akhir akan datang, bersiaplah..

No comments: