Wednesday, March 10, 2010

Pelatuk



Keringat dingin membasahi kening Marlon, nafasnya tersengal – sengal seakan tak ada udara mengalir melalui jalur pernafasannya. Tangannya mengepal kencang, mencoba melepaskan ikatan tali yang mengekang erat kedua belah tangannya. Tak ada jalan keluar, pikirnya, tak ada jalan untuk kembali mengulang semua ini dari awal. Lututnya terasa sakit, ikatan di kakinya memaksanya untuk menekuk lututnya rapat – rapat. Perlahan kakinya mulai terasa kesemutan dan mati rasa. Ingin berteriak rasanya, tapi lidahnya seakan kaku dan kelu. Airmatapun tak lagi mengalir, ini sudah jauh melampaui rasa takutnya, ini…

Braakkkk!

Dalam kegelapan, Marlon mendengar suara pintu didobrak kencang, membuat sinar yang menyilaukan dari ruangan lain masuk dan membutakan mata Marlon, betapa tidak, sudah dua hari ia berada dalam kegelapan gudang ini, matanya hanya bisa melihat dalam kegelapan, bukan cahaya menyilaukan seperti ini. Marlon memicingkan matanya, mencoba melihat siapa yang datang. Pasti lelaki sialan itu, lelaki yang menculiknya dari kantor dan melemparnya ke gudang laknat ini dua hari yang lalu.

Hari itu, Marlon hanya ingin pulang ke apartemennya dan menemui Raul, sahabat sekaligus orang yang diam – diam ia cintai selama ini. Sudah lima tahun belakangan ini, hidup Marlon kembali berwarna sejak kehadiran Raul yang tampan, sedikit jahil dan penuh semangat itu. Marlon mengenalnya sejak Marlon nyaris tertabrak mobil Raul saat ia hendak menyebrang menuju apartemennya. Saat itu Marlon hampir melabrak Raul, tapi wajah tampan Raul yang tampak sangat menyesal itu meluluh lantakkan amarah Marlon seketika. Ternyata Raul tinggal di apartemen yang sama, dua lantai diatas apartemen Marlon. Sejak saat itu, hidup Marlon tak lagi sepi, hampir setiap hari ia bertemu Raul untuk sekedar minum kopi atau mengobrol sambil tertawa keras – keras. Marlon mulai jatuh cinta, tapi ia takut kalau Raul sampai tahu, ia akan meninggalkan Marlon karena jijik atau takut. Marlon hanya menyimpan perasaan ini dalam hati, mengubahnya menjadi rasa syukur karena Raul selalu ada disana, walaupun hanya sebagai sahabat.

Malam itu adalah hari ulang tahun Raul, Marlon sangat gembira ketika Raul mengajaknya makan malam di apartemennya. Marlon sudah menyiapkan kado buat Raul, sebuah jam tangan mahal yang dulu pernah diinginkan Raul.

Tapi semuanya gagal dan buyar, sejenak sebelum menyeberang jalan, sepasang tangan besar membekap mulut Marlon, dan ketika sadar, dia sudah ada di sebuah gudang gelap yang entah ada dimana.

“ Selamat malam sayang… apa kabar?”

Jantung Marlon berdetak kencang, suara itu.. tidak mungkin, pikirnya. Marlon tidak bisa melihat wajah lelaki itu, karena gudang ini begitu gelap. Tapi ia begitu mengenal suara serak itu, suara yang pernah menemani hari – harinya dulu. Tapi.. kenapa? Apa – apaan ini?

“ Kok kamu diam? Lapar ya?” ujar suara itu lagi. Nadanya membuat Marlon merinding.

“ …Mar..Marty??” tanya Marlon ketakutan.

“ .. ah, akhirnya kamu ingat aku juga, sayang, kangen ngga sama aku?” ujar Marty sambil menyalakan sebuah lampu tempel.

Kini semuanya terlihat jelas, gudang kotor ini, tumpahan makanan yang membuat gudang ini berbau busuk, bangkai tikus, tumpukan kardus yang entah isinya apa, dan Marty. Lelaki bertubuh besar ini terlihat begitu menyeramkan, tangannya yang kekar, janggut menutupi wajahnya dan tato tengkorak terukir seram di lengan kanannya. Inikah Marty sekarang? Apa yang terjadi? Pikir Marlon. Dulu Marty adalah kekasihnya, 3 tahun mereka menjalin hubungan dan putus begitu saja saat Marlon melarikan diri dari rumah Marty. Marty terlalu posesif, Ia sering mengurung Marlon dalam rumah dan pergi entah kemana, dan ketika ia kembali ia akan meniduri Marlon dengan beringasnya, meninggalkan carut marut di punggung dan selangkangannya. Marlon berhasil kabur dan meninggalkan kota itu dan memulai hidup baru di kota lain. Marty tak pernah mencarinya, sampai sekarang..

“ Lepasin aku Marty, apa – apaan kamu??!” teriak Marlon, amarahnya mulai datang lagi.

Marty tertawa terbahak – bahak. “ …Kenapa, kamu kangen seseorang ya?”

“ Apa maksud kamu??!”, perasaan tak enak mulai menyelinap dalam hati Marlon

“Hmmm.. siapa namanya dia? Oh iya, Raul.. kangen sama dia?” senyum sinis tergambar di wajah Marty. Tidak! pikir Marlon, jangan – jangan.. dari mana ia tahu?

“ Diam kamu Marty!! Jangan kamu bawa – bawa Raul, apa mau kamu dari aku?? Masih mau siksa aku lagi?? 3 tahun kamu siksa aku, masih belum cukup??!” Nafas Marlon tersengal, amarah dan bau busuk membuat nafasnya lebih pendek. Perutnya terasa mual.

“ Yang nyiksa kamu tuh siapa? Aku sayang kok sama kamu, aku tergila – gila sama kamu sayang..” Marty mendekatkan wajahnya pada wajah Marlon. Bau minuman berhembus ke hidung Marlon, membuatnya muak, ia meludahi wajah Marlon.
“ Sialan kamu!!!!” Plaaaakkkkk!! Sebuah tamparan keras menghantam wajah Marlon, darah mulai mengalir dari bibirnya. Marlon tak mampu lagi berteriak, rasa kesal, takut dan jijik bercampur menjadi satu.

“ Kalo kamu kangen sama si Raul sialan itu, nih puas – puasin deh kangen kamu!!” Tiba – tiba Marty menarik tangan seseorang dan melempar tubuhnya ke samping Marlon. “ Raul!!!” jerit Marlon, ketika melihat wajah orang itu. Tubuh Raul terikat dan wajahnya lebam, pasti karena dipukuli oleh Marty.

“ Raul.. kamu ngga apa – apa?” ujar Marlon khawatir
“ Ngga apa – apa Marlon, kamu berdarah… “ ujar Raul perlahan, nafasnya pendek – pendek.

“ Alaaaaahh!!! Udah – udah!!” teriak Marty kesal.

“ Sekarang, kamu berdua ikutin permainan aku.. “ Marty menarik sepucuk pistol dari balik jaketnya.

“ Oke, siapa mau berkorban buat yang lainnya? “ Marty menyeringai. “ Dalam pistol ini hanya ada satu peluru, aku akan mencoba menembakkannya tiga kali saja, jika setelah 3 kali tembakan tidak ada peluru keluar maka kamu bisa bebas, gimana, menarik bukan?” tawanya menbahana, membuat Marlon semakin ketakutan. Tapi ia tak bisa melihat Raul berkorban untuk dirinya, ia begitu mencintai Raul, tak akan ada seorang pun yang bisa membuat Raul terluka!

“ Aku.. aku saja yang ikut permainan ini, jangan bawa – bawa Raul!” cetus Marlon.

“ oooh… so sweet.. ternyata kamu memang cinta mati ya sama Raul ini, tapi kamu tau ngga? Siapa Raul sebenarnya…” Marty merogoh saku jaketnya dan melempar beberapa foto ke wajah Marlon. Ketika foto – foto itu menyentuh lantai, barulah Marlon bisa melihatnya, foto Raul sedang bermesraan dengan seorang wanita. Hati Marlon terasa seperti ditusuk, tapi bukankah ia sudah tahu kalau Raul itu seorang lelaki normal?

Marlon terperangah, rasa ketakutannya mulai mencapai puncak, Marty benar – benar gila! Sesaat Marlon meronta – ronta hebat, lalu sadar, bahwa ia sudah tak mungkin lagi lari dari tempat ini, disampingnya, Raul juga tampak sangat ketakutan, wajahnya tak lagi ceria, hanya lebam dan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Ini keterlaluan, pikir Marlon.

Marty menarik tubuh Marlon dan membiarkannya berlutut di hadapan Marty. Pistol itu ditempelkan di kening Marlon yang gemetar. Jantungnya berdetak kencang. Aku takut, pikir Marlon. Benar – benar takut. Air mata merebak di matanya. Marlon mengigit bibirnya, berusaha menahan air matanya.
Marlon memejamkan matanya saat Marty menarik pelatuk pistolnya. Nafasnya tersengal. Ia merasakan pandangan iba Raul. Semua ini demi kamu, agar kamu bisa hidup dengan wanita itu, pikir Marlon. Marlon merasa pandangannya kabur, semua jejak kehidupannya berputar seperti video di benaknya. Ibunya, ayahnya, keluarganya, teman dan sahabatnya, dan Raul. Benar kata orang, jika sudah dalam keadaan hidup dan mati, semua rekaman kehidupan akan dimainkan.

Tembakan pertama, gagal..

Jantung Marlon seakan berhenti, sampai kapan ini akan berlangsung, bagaimana jika 3 tembakan itu semuanya gagal? Akankah Raul yang akan mengorbankan dirinya, tidak!! hanya aku yang bisa menyelamatkan Raul, pikir Marlon. Ia memejamkan matanya, menunggu untuk tembakan kedua dari Marty yang sedang memainkan Russian roulette ini.

Tembakan Kedua, gagal…

Nafas Marlon semakin sesak, ia tak mau mati sia – sia, tapi juga tak mau Raul mati di hadapannya, toh ia tak mencintai Marlon sebagaimana Marlon mencintai Raul. Bagi Marlon, Raul adalah hidup dan matinya, apapun akan ia lakukan agar Raul tetap hidup dan bahagia. Sekali lagi, Marty menarik pelatuk. Ia berbisik di telinga Marlon, “ …aku mencintai kamu sayang, lebih baik kamu mati daripada hidup tanpa bisa mencintai aku..” cinta yang gila, sakit jiwa!! Pikir Marlon, mulutnya sudah tak bisa mengatai Marty lagi. Apakah aku akan berbuat hal yang sama pada Raul jika ia tak bisa mencintai aku?

Tembakan Ketiga.. sepertinya Marty sedikit mengulur – ngulur waktu.

Marlon memejamkan matanya dan menunggu rasa sakit itu menembus keningnya. Tiba – tiba ia merasakan ada seseorang menarik tubuhnya dan…

Daaarrr…

Suara tembakan membahana, memekakkan telinga.

Perlahan Marlon membuka matanya, apa ini? Apa aku mati? Kemana rasa sakit yang kutunggu itu?

Ia melihat Raul bersimbah darah di pangkuannya, Tidak!! darah mengalir deras dari dada Raul yang berlubang karena peluru.

“ Tidakk… Raul, seharusnya aku yang mati, bukan kamu!! Ini semua salahku!!..” Marlon meracau, entah kekuatan dari mana, ia meregang dan melepaskan ikatan tangannya untuk memeluk Raul.

“ …sebenarnya aku pun mencintai kamu Marlon..” bisik Raul pelan. “ Tapi aku.. hanyalah seorang pengecut yang tak mampu mengatakan.. kalau..kalau.. “ nafasnya tercekat. “ …kalau aku mencintai kamu sejak pertama kali kita bertemu..”

Marlon hanya bisa menangis kencang, ia merasa hidupnya tak ada artinya lagi, Raul.. oh Raul yang aku cintai, pikirnya, hanya ia yang bisa membuatku hidup.

Marlon memeluk Raul kencang, merasakan bahwa pelukan Raul telah melemah, seiring matanya yang mulai menutup dan nafasnya yang tak lagi tersengal, tapi juga tak lagi bernyawa. Raul telah mati mengorbankan dirinya demi aku, pikir Marlon. Keringat dingin mencucuri tubuhnya. Ia menoleh mencari sosok Marty, ia melihat lelaki itu diam tersudut di pojok gudang, tersengal melihat pemandangan di hadapannya. Marlon beranjak meninggalkan tubuh Raul untuk menghampiri Marty. Sepucuk pistol dan beberapa peluru berserakan, terjatuh keluar dari saaku jaket Marty. Perlahan, Marlon mengambil pistol itu, memasukkan peluru – peluru kedalam selongsong pistol hinggal penuh, dan..

Tanpa membiarkan Marty banyak bicara, Marlon menembakkan pistol itu kearah kening Marty. Marty.. mati..

Dua orang yang pernah menjadi cinta dalam hidup Marlon, kini telah terbujur kaku dan bersimbah darah..

Kini Marlon telah mati rasa, ia menghampiri tubuh Raul, meraup genangan darah Raul dengan kedua tangannya dan membasuh wajahnya dengan darah Raul. Ia ingin merasakan kehangatan terakhir dari Raul yang tak akan lagi ia rasakan.

Marlon kembali mengambil pistol milik Marty.. sebelah tangannya mengenggam pistol, dan sebelahnya lagi mengenggam tangan Raul.

Suara tembakan kembali mengegelegar di gudang gelap itu.

“..kita akan selalu bersama, Raul…”


-Fin-

No comments: