Thursday, March 11, 2010

The Last Day Of Jakarta III

The Last Day Of Jakarta

Chapter III : Shiva & Krishna

Shiva merapatkan sarung yang melindungi tubuhnya, cuaca dingin di kota ini sudah sampai di taraf yang menakutkan. Terlebih ia harus menerima kenyataan bahwa ia harus tidur di lantai dingin sebuah masjid, bersama berpuluh bahkan beratus pengungsi yang ikut menumpang di masjid ini karena rumah tinggal mereka musnah dihantam banjir besar yang melanda daerah mereka kemarin malam. Termasuk rumah petak yang disewa Shiva, yang hanya cukup untuk dirinya sendiri, berikut kecoak dan tikus yang tak lagi membuatnya menjerit – jerit ketakutan setiap malam. Sudah biasa, pikir Shiva waktu itu. Sebagai seorang perempuan muda yang cantik, dan bertubuh indah bak model, kepindahan Shiva ke lingkungan ini mengundang decak kagum dan juga cemoohan dari para penghuni kampung tersebut. Ada yang bilang, kok mau – maunya wanita secantik Shiva tinggal dirumah petak di gang becek di sudut kota Jakarta ini? Bahkan ada yang mengira Shiva adalah artis sinetron yang sedang mendalami peran sebagai orang miskin. Tak sedikit pula, ibu – ibu yang haus gossip murahan, mengecapnya sebagai pelacur yang sedang dikejar – kejar istri pelanggannya, hingga harus bersembunyi di daerah ini. Semuanya Shiva telan mentah – mentah, dan senyumnya tetap tersungging saat melewati kerumunan orang yang selalu ada di depan rumahnya. Terkadang ia menangis tersedu – sedu di tengah malam meratapi nasibnya yang berubah 180 derajat ini, dari putri seorang pengacara tangguh yang kaya raya hingga terusir keluar dari istananya dan harus tinggal di pemukiman kumuh ini.

Tubuh Shiva yang menggeletar meradang ketika memikirkan perempuan sundal itu, namanya Nora, perempuan liar, murahan, Shiva membencinya. terlebih ketika ia mendengar suara tawanya yang seperti setan. Sayangnya, pelacur inilah yang dinikahi ayahnya untuk menggantikan mendiang ibunda Shiva yang meninggal setahun yang lalu. Pelacur ini yang berusaha menggantikan posisi ibunya, Shiva bahkan tak sudi makan satu meja dengan sundal ini, Shiva bahkan tak pernah mengindahkan ajakan ayahnya untuk makan bersama Nora. Ketika ayahnya meninggal, semua mimpi buruk Shiva menjadi kenyataan, belumlah tanah kuburan ayahnya kering, Nora sudah membawa pria lain masuk dalam rumahnya, pria yang Shiva ketahui sudah memiliki istri dan anak, pria yang juga bekerja di perusahaan yang sama dengan Shiva, namanya Armand. Lelaki bodoh dan perempuan sundal itu kemudian mengusirnya dari rumah, tanpa alasan, hari itu Shiva mendapati barang – barangnya sudah berserakan di teras rumah, dan satpam yang belum pernah ia lihat menyuruhnya untuk mengambil barang – barangnya dan pergi secepatnya. Shiva seperti disambar kilat saat itu, gamang dan sakit hati. Lalu disinilah ia, tidur bertumpuk – tumpuk dengan penghangat seadanya di sebuah masjid, bersama pengungsi lainnya.

Shiva beranjak bangun, meraih tasnya untuk mengambil sebatang rokok, menyalakannya dan mengambil ponselnya. Tangannya bergetar mencari nama seseorang di ponselnya. Krishna, kekasihnya yang sudah lama tak ia hubungi, mungkin ia sudah bersama perempuan lain, pikir Shiva. Lelaki tampan ini memiliki tubuh yang besar, berbulu dan emiliki berahi yang tinggi, bagai binatang buas, setiap pertemuan mereka, selalu berakhir dengan Shiva yang terseok – seok berjalan pulang dengan tubuh memar dan sakit di selangkangannya. Tapi Shiva menikmatinya, Shiva mencintai Krishna walaupun ia sering menyiksa Shiva. Mungkin aku sudah gila, mungkin juga mengidap sado masochist, pikir Shiva lagi. Ditekannya tombol ponsel untuk menghubungi Krishna.

Tuuuut..tuuut…

“ Halo Shiva?”

“ Halo Krish.. kamu lagi dimana?”

“ aku di rumahku di cibubur va, kamu dimana? Ga kenapa – napa?” suara Krishna mulai terdengar terputus – putus.

“ aku ngga apa – apa krish, Cuma kena banjir aja, kamu bisa jemput aku krish?”

Mendadak pertanyaan itu membuat Krishna terdiam.

“ halo..halo.. krish?” tanya Shiva lagi, perasannya kurang enak.

“emm.. jemput kamu ya.. emmm…gimana ya?” Krishna tergagap. Selintas Shiva menangkap suara lain yang ada di belakang suara Krishna, suara laki – laki.

“ kamu lagi sama siapa sih Krish?” amarah mulai mewarnai suara Shiva

“ sama temenku kok va, makanya aku ga bisa jemput kamu..” suaranya terdengar gugup.

“…. Siapa sih babe?... ayo peluk aku lagi..” suara pelan di belakang suara Krishna itu terdengar oleh Shiva, nafasnya meradang. “ Siapa itu Krish??!!” bentak Shiva marah.

“ ehmm.. temenku va..., sori hp ku low bat nih, aku tutup ya va, sorry..” Krishna menutup teleponnya. Shiva tertegun menahan amarah. Bajingan!! Lelaki itu sekarang tak hanya tidur dengan wanita, tapi juga pria! Shiva merasa mual. Sialan!!!

Shiva berusaha kembali tidur, tapi amarahnya membuatnya tak bisa memejamkan mata, rasanya Shiva ingin menembaknya saat itu juga. Biar dia mati, lelaki tak tahu diuntung, seru Shiva dalam hati.

Keesokan harinya banjir telah surut, hujan telah berhenti, Shiva bergegas berangkat ke tempat kerjanya, tak ada waktu untuk pulang ke rumah, pikirnya. Ia sekarang bekerja di sebuah perusahaan sebagai customer service. Seharusnya karirnya sudah meningkat, tapi dua minggu lalu, ketika Nora mengusirnya dari rumah, Armand pun berkonspirasi dengan atasannya untuk memecat Shiva. Namanya di black list di sejumlah mailing list, hingga akhirnya Shiva harus memulai lagi dari awal. Bergegas Shiva menaiki tangga menuju kantornya yang berada di kawasan Sudirman. Sayup – sayup mulai terdengar letusan senjata, dan teriakan – teriakan para pengunjuk rasa yang meneriakkan aspirasi mereka, yang mulai terdengar basi oleh Shiva. Telinganya sudah mulai terbiasa mendengar letusan senjata, matanya sudah mulai terbiasa melihat kerusuhan, dan hidungnya sudah mulai terbiasa mencium bau darah. Bergegas ia menaiki lift. Ada dua orang lelaki tampan didalamnya, yang satu Shiva sudah mengenalnya, pak Adrian, yang berkantor di depan kantornya, dan yang satunya wajahnya tampak familiar, tapi ada perasaan tak enak berkelebat di dada Shiva.

Shiva terkejut melihat kantornya yang kosong, tak ada karyawan satupun yang masuk kerja hari ini kecuali dirinya dan sang resepsionis, Mita.

“Mit.. pada kemana nih orang – orang?” tanyanya pada Mita

“ Pada kebanjiran kayanya va, macet dimana – mana pula..” jawab Mita

“ Pak Simon juga ga masuk hari ini?” tanya Shiva

“ Nggak, katanya ada keluarganya yang ketembak demonstran kemarin va,” jawab Mita santai.

Shiva bergidik, bagaimana bisa ia menjawab pertanyaan sesantai itu, duh walaupun Shiva sudah terbiasa dengan semua ini, tetap saja jawaban Mita membuatnya merinding.

Tanpa terasa, jam makan siang sudah tiba, Shiva merasa perutnya kelaparan, ia tak sempat sarapan tadi pagi. Ia menggamit tasnya dan bergegas menuju resepsionis untuk mengajak Mita makan siang. Ternyata meja Mita sudah kosong, tak ada tas yang biasa ia tinggalkan, tak ada kertas – kertas yang biasanya berserakan, kosong, seakan Mita tak pernah masuk kantor hari ini. Aneh, pikir Shiva. Sudahlah aku sekalian pulang saja, pikirnya, toh tak ada orang pula di kantornya hari ini.

Setibanya di luar, kericuhan semakin menjadi, bau darah semakin menusuk di hidung Shiva. Langit semakin gelap, dan udara dipenuhi asap dan amarah para demonstran yang semakin menggila. Shiva mulai berlari menjauhi gedung menuju jalanan. Ia berlari menuju daerah Monas, yang cukup jauh dari kantornya, entah tenaga apa dan alasan apa yang membuat Shiva terus berlari, hingga hak sepatunya patah, Shiva tersadar. Apa yang membuatnya berlari seperti ini? Tiba – tiba sekelebat wajah yang ia kenal baik melintas di sela kerumunan demonstran. Krishna! Mendadak amarah yang sudah hampir mendingin di dada Shiva, kembali meledak.

“Krishna!!! “ teriaknya penuh amarah sambil berlari menghampiri Krishna yang tampak panik. Ada seorang lelaki memeluknya, sialan! Ternyata lelaki yang dilihatnya tadi pagi di lift adalah pasangan mesum pacarnya!

“kemana kamu tadi malam? Kamu tahu apa yang terjadi sama aku??? Siapa dia krish?” teriaknya membabi buta. Takkan ada orang yang peduli betapapun aku berteriak, pikir Shiva. Kota ini sudah di ambang kehancuran!

“…aku sudah ngga bisa sama kamu lagi va, aku sekarang memiliki Wishnu..” ujar Krishna terbata.

Shiva meradang, “ Kamu gila Krish!! Setelah apa yang aku kasih sama kamu selama ini? Sinting! Sakit jiwa kamu!!” nafas Shiva tersengal, amarahnya membuat dadanya sakit. Satu – satunya warisan yang luput diambil Nora, adalah penyakit jantung bawaan ini.

“ Udahlah va, dia udah ga mau sama kamu, dia udah punya aku, lagian sekarang ini sebaiknya kamu cari jalan pulang, bisa mati kamu disini..” Wishnu yang sedari tadi hanya diam, tiba – tiba menimpali.

“ Diaammm!!! Aku ga ada urusan sama kamu, dasar anjing!!” amarah Shiva seakan sudah tak tertahan lagi.

Shiva merogoh tasnya mencari sebuah benda pemberian ayahnya yang selalu ia bawa kemanapun, rapi terbungkus kain khusus, agar tidak terdeteksi metal detector kemanapun Shiva pergi.

Shiva, dunia ini kejam nak, kamu tahu kan, papa ini banyak musuh, banyak sekali orang yang ingin membunuh papa, dan keluarga papa, Cuma kamu yang papa punya, lindungi diri kamu sendiri dengan pistol ini sayang, akan tiba waktu yang tepat buat kamu untuk menggunakannya…. Pasti akan tiba sayang..

Kata – kata ayahnya tersebut terngiang – ngiang di telinga Shiva, seiring tangannya yang mengacungkan pistol dan menodongkannya ke arah Krishna dan Wishnu.

Krishna.. “ nafasnya tercekat “ … kamu pilih aku, atau dia?”

“ Shiva, kamu apa – apaan sih?? Turunin pistol itu va!!” seru Krishna panik.

“ kamu pilih dia, dan aku akan bunuh kamu!!” teriak Shiva, mukanya memanas dan matanya terasa pedih.

“ kamu ga akan berani va! Kamu mencintai aku, kamu ga mungkin bunuh aku, dan aku ga akan pernah balik sama kamu, aku mencintai Wishnu!!” ejek Krishna

“ Kamu ga akan berani va..!” tambahnya lagi.

“ O ya? Berarti kamu ga kenal aku selama ini Krish…” ujarnya pelan. Ia menarik pelatuk pistolnya dan menembakkannya kearah kepala Krishna. Rasanya waktu disekeliling Shiva seakan melambat, sehingga ia bisa melihat peluru itu perlahan menembus kening Krishna. Semua sudah berakhir sekarang.

“ KRISHNAAA…!!!” teriak Wishnu sambil memeluk tubuh Krishna yang tewas seketika.

“ Kalau kamu masih mau hidup, lebih baik kamu lari Wishnu..” ujar Shiva dingin. Wishnu menggeletar, tangannya melepaskan tubuh Krishna lalu lari tergopoh – gopoh. Dasar banci pengecut! Kutuk Shiva dalam hati. Sakit dadanya semakin menjadi. Dari kejauhan Shiva bisa melihat sekelilingnya mulai gelap, air setinggi gedung dengan kecepatan tinggi mulai menelan pemandangan dihadapannya.

Shiva berlutut, mencium bibir dingin Krishna, dan menutup matanya yang terbelalak. “aku cinta kamu sayang… sampai ketemu ya..”

Dada Shiva seakan meledak, jantungnya perlahan mulai melemah, seiring ombak tsunami yang berada di atas kepalanya, tapi Shiva tak berlari, ia berdiri, membiarkan air itu menghancurkan tubuhnya, semuanya sudah berakhir.

“ Ayah.. Ibu.. aku pulang..” bisiknya lirih

No comments: