Tuesday, December 02, 2008
Here I Am
Time grew me up with so many experience, pain, joy and tears that never came out..
Aku berharap dia adalah orang yang tepat.. yang bisa membimbingku ke arah yang seharusnya..
Aku berharap dia mencintai aku.. walau tak sebesar cintaku padanya..
I got over someone that I loved for 10 years, and now I found another..
Here I am.. just in love, wouldn't want anything in the world but you..
Friday, October 10, 2008
Sang Pencabut Nyawa
1 New Message
(Roberto) +62816667XXX
Malem, lagi apa kamu?
+62818210XXX
Lagi tiduran aja di kost, kangen kamu..
+62816667XXX
Aku juga kangen kamu, besok kita ketemu ya?
+62818210XXX
Oke, tempat biasa kan? See you
+62816667XXX
I Love You..
+62818210XXX
Love you even more..
Sms itu menutup malam sepiku. Sms ke 12 hari ini, belum lagi kami selalu chatting berjam – jam di depan computer, di sela – sela kesibukan kami yang menggila setiap harinya. Roberto, nama itu kini mengisi hari – hariku setahun belakangan, kedekatan kami seakan mendobrak batasan dunia maya, juga batasan norma. Aku seakan kehilangan semangat ketika beberapa bulan yang lalu, ia tiba – tiba tak membalas semua smsku, aku panik dan khawatir, ternyata ia lupa membawa ponselnya hari itu. Ponsel. Betul – betul sebuah keajaiban dunia yang sangat kusyukuri, sebuah alat yang bisa menyebarkan kasih sayang, walaupun terlarang.
Ia sudah menikah, dari awal aku sudah mengetahuinya, tapi aku seakan buta karena cinta, aku tak peduli jika istrinya membaca sms – sms romantis, bahkan terkadang panas dariku, aku tak peduli jika wanita itu menangis sepanjang malam menanti kedatangan suaminya yang tak kunjung pulang karena masih berkubang peluh di kost murahanku, aku tak peduli jika setiap tengah malam ia pulang hanya untuk memunggungi istrinya dan mendengkur setelah lelah mengadu berahi bersamaku. Cinta, memang berbahaya, aku sadari itu, tapi aku tak ingin mundur, aku ingin terjerat cinta bersama Roberto.
Sore ini aku akan bertemu Roberto, kali ini hanya untuk makan malam bersama, karena wanita sialan itu merengek pada Roberto agar ia bisa pulang lebih cepat malam itu. Kepusingan akan pekerjaanku hari itu seakan terbayar lunas, ketika aku melihat Roberto sudah duduk manis di meja café favorit kami.
“ Hai, udah lama? Sorry ya mas, aku kejebak kerjaan tadi..” Sapaku sambil tersenyum
“ You’re always worth to wait kok dik..” ujarnya sambil tertawa kecil, sungguh manis, sungguh tampan, seakan aku ingin menerjang dan menciuminya saat itu juga. Tapi tidak. Not in public, at least not in Indonesia.
Kami memesan makanan, seperti biasa kami terlibat pembicaraan seru, Roberto sangat konyol, dia bisa membuatku terbahak – bahak sampai orang yang ada di sebelahku menyingkir karena terganggu. Dia juga bisa serius hingga kadang aku terlibat perdebatan seru dengannya. Tetapi, topic pembicaraan hari itu agak berbeda.
“ Dik.. gimana perasaan kamu sama aku? “ tanya Roberto, ia tampak serius sekali. “ Kamu masih perlu nanya? Kamu kan tau aku cinta mati sama kamu..” ujarku sambil tersenyum.
Roberto mendesah dan melanjutkan “ Istriku udah tau tentang kita..”
Rasanya potongan fillet mignon yang ada dimulutku hendak mencelat keluar mendengar kata – katanya. Bagaimana bisa?
“ … Kok bisa? Dia baca sms – sms aku buat kamu?”
“ Iya, dan juga ada orang yang bilang kalau aku dan kamu sering keluar masuk hotel”
“ Kalau mau jujur, aku engga peduli mas, baguslah kalo dia udah tau”
Kulihat wajah Roberto memerah karena marah, ini kali kedua ia terlihat seperti itu, dulu ia pernah memakiku habis – habisan karena aku menelepon ke rumahnya. Kekasih gelap tak boleh menelepon ke rumah, katanya.
“ Gimana bisa kamu begitu?? Aku orang Batak dik, kalau sampai seluruh keluargaku tahu, aku bisa dibuang dari keluargaku tanpa uang sesen pun!”
“ Mas, kita bisa hidup bersama mas, kita bisa cari rumah untuk kita berdua, dan saling menghidupi!”
“ Absurd !, aku mencintai kamu dan istriku, kamu tahu itu, tapi aku tak bisa kehilangan keluargaku dik..”
“ Jadi mau kamu gimana? Kita putus, begitu??!” teriakku kalap dan putus asa.
“ Mungkin sementara kita ngga usah ketemu dulu dik..”
“ Kamu menyerah begitu aja? Aku udah kasih semuanya buat kamu, dan kamu menyerah? You’re giving up on us!”
“ Yang nyerah siapa? Aku Cuma mau kita berhenti bertemu sementara sampai suasananya reda antara aku dan istriku!” Roberto mulai murka.
“ Sampai kapan? Kamu pengecut mas!” teriakku. Aku benar – benar marah.
“ Terserah kamu lah..” Roberto benar – benar meninggalkanku. Rasanya aku ingin meloncat dari balkon restoran saat itu juga. Shit! Shit! Shit!
Gontai aku berjalan menuju kamar kostku yang pengap itu.
“ malem pak.. baru pulang?” sapa seseorang dari belakangku. Ia membawa sapu dan kain pel.
“ Iya, kamu pembantu baru disini? ..” tanyaku
“ betul pak, nama saya Yono.” Ujarnya
“ Oh, oke, saya ke kamar dulu ya Yon..” ucapku, lesu.
“ Baik, silakan pak..”
Aneh juga, setahun aku tinggal disini, tak pernah sekalipun aku melihat adanya pembantu, Ibu Maria, empunya tempat kost ku selalu mengerjakan semua kebutuhan kami sendiri, terkadang dibantu ketiga anaknya. Mungkin ia sudah lelah, dan membutuhkan pembantu.
Kuhempaskan tubuh penatku di tempat tidur, sambil memikirkan kejadian tadi, Putus? PUTUS? Mendadak aku terserang panik, aku tak pernah siap ditinggalkan Roberto, tidak setelah 1 tahun hubungan indah yang kami jalani, tidak tidak, ini tak boleh terjadi. Udara panas Jakarta seakan naik lagi beberapa derajat di kamarku, rasanya panas sekali, hingga aku kehabisan nafas. Dengan nafas memburu, dan amarah yang membludak aku berpakaian dan berlari keluar kamar. Tiba didepan gerbang rumah aku terhenti, pandanganku kabur, air mataku membanjir tak terkontrol, aku mencintai dia, rasanya ini tak adil bagiku, perempuan sialan itu bisa memiliki Roberto semaunya, sementara aku hanya mendapat sisa, sisa tubuh Roberto, sisa waktu Roberto, dan sisa – sisa lainnya.
“ ..Perlu bantuan pak? “ Tiba – tiba saja Yono sudah ada dibelakangku, melihatku dengan pandangan yang berbeda dari biasanya. Ada bungkusan plastik hitam digenggamannya.
“ eh.. ngga Yon, aku ngga apa – apa.” Ujarku sambil mengusap airmataku.
“ Ini buat bapak, siapa tau bisa berguna..” ucap Yono sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam itu ke tanganku. Ia tersenyum misterius.
Entah kenapa aku tak ingin menanyakan isi kantong plastik itu, tanpa banyak bicara lagi aku langsung berlari menuju jalan raya dan memanggil taksi. Aku harus ke rumah Roberto malam ini.
“ .. Permata Hijau pak.. “ ujarku gugup pada supir taksi yang baru kunaiki
Ia mengangguk. Sekilas ia melihat ke arahku, melihat kegugupanku, untungnya dia tak banyak bertanya. Tak henti – hentinya aku mengelap keringat dinginku, padahal taksi itu cukup dingin. Perjalanan itu terasa sangat lama bagiku. Aku tak bisa berpikir jernih, di kepalaku hanya ada Roberto, yang mungkin sedang meniduri istrinya malam ini. Perempuan itu, perempuan yang beruntung bisa memiliki Roberto seutuhnya, tidak seperti aku yang hanya bisa menikmati kebersamaanku dengan Roberto di malam – malam tertentu saja. Vivian, itu nama perempuan itu, cantik, tapi tanpa ambisi, kerjanya hanya mengurus rumah, memasak dan mengurus taman. Padahal ia lulusan sebuah universitas di Amerika Serikat. Hari begini, masih ada saja wanita yang menolak berkarier demi mengurus rumah dan suami, padahal mereka belum punya anak, seharusnya Vivian bisa tetap berkarier sesuai pendidikannya yang setinggi langit itu. Mungkin itu juga alasan Robert mencintai Vivian, sudah cantik, pandai mengurus rumah tangga pula. Emosiku seakan menggila ketika aku membayangkan kebersamaan mereka. Harusnya aku tak benci Vivian, harusnya aku membenci Robert, yang dengan mudahnya berpindah dari satu tempat tidur ke tempat tidur lainnya, dengan mudahnya pula ia merayuku bahwa ia mencintaiku dan juga istrinya. Bajingan itu, bajingan tampan sialan yang telanjur aku cintai.
Mendadak aku teringat akan bungkusan hitam yang diberikan Yono tadi, kira – kira apa isinya ya? Kurogohkan tanganku ke dalam plastik itu, aku merasakan sesuatu yang begitu dingin, kutarik tanganku dan mencoba melihat isinya dengan lebih jelas. Seketika aku tergeragap, isinya pistol.
“ .. bapak baik – baik saja pak?” sopir taksi itu mengagetkanku.
“ emhh.. eh.. saya ngga apa – apa pak, masih lama pak ?” ujarku sambil menutup kantong plastik itu dengan panik. Kenapa Yono memberiku pistol?
“ sebentar lagi sampai pak..” jawab supir taksi itu.
Akhirnya aku sampai di rumah Roberto. Hujan besar mulai turun membasahi tubuhku, tapi aku tak peduli. Rumah yang besar dan mewah, wajar saja ia tak rela meninggalkan istrinya demi aku yang bukan siapa – siapa ini. Dengan geram aku membuka pintu gerbangnya yang ternyata tak dikunci. Kulangkahkan kakiku dengan gugup kearah pintu rumahnya, tanganku mengenggam pistol yang entah sejak kapan sudah terlepas dari plastik pembungkusnya. Keringatku mengucur deras, kepalaku mendengung hingga langkahku terhuyung. Mendadak pintu itu terbuka lebar dan perempuan itu muncul di depan mukaku. Vivian! Aku tak siap menghadapinya saat itu walaupun aku berniat menghabisi nyawanya malam itu. Matanya nanar, seperti orang yang kehilangan kesadaran.
“ Mau apa kamu kesini??! “ teriaknya kencang disela petir dan hujan yang menggemuruh.
“ Aku mau bertemu Roberto! “ seruku tak kalah kencang
“ Kamu bener – bener ngga tau malu ya? Dia suami aku! Dan kamu udah berusaha merebut dia dari aku!” Vivian mulai menangis.
“ Merebut? Tanya Roberto siapa yang duluan memulai hubungan ini! Suami kamu yang brengsek!”
“ Pergi kamu! Homo sialan! Pergi!!” Vivian mulai kehilangan kendali. Aku menubruknya untuk masuk kedalam rumahnya. Vivian tersungkur terdorong tubuhku yang membabi buta.
“ Roberto!! Keluar kamu! Robertoo!!” teriakku putus asa memanggil nama kekasihku.
Tak ada jawaban. Ada sesuatu yang aneh yang terjadi di rumah yang gelap gulita itu, udaranya terasa lebih menyesakkan dari udara di luar. Kulihat Vivian hanya terduduk di pintu dengan terengah – engah, tanpa suara, hanya merintih tak jelas.
Kulihat pintu dapur menyala. Aku tahu ini dapurnya karena Roberto pernah mengajak aku ke rumah ini sewaktu istrinya keluar kota menengok ibunya yang sedang sakit keras. Perempuan bodoh itu mungkin tak tahu, meja dapur yang biasa ia pakai memotong – motong makanan untuk suami tercintanya, telah kami pakai sebagai tempat pelampiasan nafsu kami.
Aku berlari menuju dapur, berharap menemukan Roberto disana, aku menjejakkan kakiku dan terpeleset jatuh, tanganku meraba cairan merah yang meleleh di lantai dapur Vivian. Tanganku bergetar hebat dan rasa mual menguasai diriku. Darah! Aku bergerak mundur sampai aku melihat sesosok tubuh yang terbujur kaku di lantai dapur, sebilah pisau menancap di dadanya, Roberto! Rasa mual menghilang berganti kepanikan, aku mengguncang – guncang tubuhnya, berharap ia masih hidup dan bernafas, tapi tidak, Roberto sudah mati, aku menjeritkan namanya, air mataku membanjiri wajah Roberto bercampur dengan darah yang belum berhenti mengalir dari tubuhnya. Tiba – tiba aku merasakan sesuatu yang dingin di pelipisku. Aku tersadar, pistol yang sedari tadi aku genggam, telah hilang entah kemana. Vivian kini menempelkan pistol itu di tengkukku.
“ Tuh, Roberto sekarang boleh buat kamu, “ ucapnya dingin
“ ..k-kenapa Vivian? Kenapa kamu membunuh Roberto? Kamu mencintainya bukan?” ucapku terbata – bata, kakiku rasanya tak mampu lagi menopang berat tubuhku, Robertoku, Roberto yang sangat kucintai kini telah menjadi seonggok tubuh tanpa nyawa.
“ Ya aku memang mencintai dia, lebih dari apapun, semuanya aku berikan padanya, karirku, hidupku, segalanya hanya buat Roberto” ucapnya datar, nafasnya yang dingin berhembus di tengkukku.
“ Tapi dia memilih kamu, lelaki sialan yang seharusnya tidak ada dalam kehidupan kami.” Vivian semakin mendorong pistol itu di tengkukku, hingga aku mengerang ketakutan. Roberto memilihku? Pengakuan Vivian itu makin membuatku menjerit sejadi – jadinya. Seharusnya aku tak menyuruhnya memilih, seharusnya aku sadar diri akan posisiku yang hanya dapat mengecap setetes cintanya untukku. Robertoku..
“ Sekarang, siap – siap untuk menyusul Robertoku… di cerita manapun juga, selingkuhan sialan kayak kamu ngga mungkin menang..” ujarnya dingin, aku bisa mendengar dengan jelas, pelatuk pistol itu sudah ditariknya. Vivian tertawa kecil, yang terdengar seperti tawa kuntilanak bagiku. Perempuan ini sudah gila!
Kepanikanku mencapai puncaknya, dengan kecepatan yang aku sendiri tak mengerti darimana datangnya, aku mencabut pisau yang tertancap di dada Roberto dan menancapkannya di pinggang Vivian, tepat sebelum pistol itu meletus dan menyerempet pelipisku. Perempuan itu menjerit kencang sebelum akhirnya terduduk diam, mati. Darah mulai meleleh dari pinggangnya dan membasahi lantai dapur yang sudah terlebih dahulu dilumuri darah Roberto. Sakit luar biasa kurasakan di pelipisku, mataku sudah tak dapat melihat dengan jelas, aku terhuyung – huyung berusaha mencapai pintu dapur untuk keluar dari kegilaan ini. Susah payah aku merangkak menahan sakit dengan lumuran darah yang sudah menutupi pandanganku. Di pintu depan akhirnya aku bisa mengumpulkan kekuatan untuk berjalan menuju gerbang, sampai tiba – tiba aku mendengar letusan pistol dibelakangku, aku menoleh dan melihat Vivian mengarahkan senjata itu di hadapanku. Dengan pisau yang masih menancap, ia masih bisa menodongkan pistol itu dan tertawa lirih.
“ ..aku yang menang Chris.. aku yang menang.. “ ucapnya lirih. Aku tak mengerti, tiba – tiba kurasakan sakit yang teramat sangat datang dari perutku, kuraba dan aku merasakan ada cairan panas yang keluar dari perutku, darah. Ia sudah menembakku. Mulutku mulai memuntahkan darah segar, aku jatuh tertelungkup. Lalu gelap. Dingin.
Samar – samar dalam kegelapan aku melihat sosok Yono, tetapi ia tampak lebih pucat, mengenakan jubah hitam dan memegang kapak besar.
“ Pistolnya berguna juga kan pak?” tanyanya, dingin.
Bandung, October 4, 2008 23:18
Cinta dalam Niskala
Nama dan wajahnya tanpa sengaja kulihat di situs friendster sebulan yang lalu. Wajah yang begitu indah dengan nama yang begitu aku suka. Menakjubkan bagiku bahwa situs ini bisa memudahkan orang mencari jodoh atau pacar tanpa harus repot – repot mendaftar ke biro jodoh. Lagian sangatlah bodoh dan tidak mungkin jika aku menulis ke biro jodoh salah satu Koran, dengan mencantumkan ‘seorang laki – laki, 26 tahun, mapan, matang, dewasa, mencari calon suami yang perhatian, baik hati berusia diatas 30 tahun. Not going to happen in this country!
Anyway, entah kenapa aku begitu tergila – gila melihat wajahnya. Ia tidaklah sempurna, tetapi wajahnya begitu mempesona, tampan, mata yang agak sipit, dan jenggot kebiruan yang menghiasi wajahnya di semua foto yang ada di profilenya. Kuberanikan diri, menulis pesan murahan (karena aku tak tahu harus menulis apa lagi) “boleh kenalan ? “ dan (untungnya) dia membalas dengan ‘ boleh banget’.
Umurnya 33 tahun, dan dia sudah menikah, ketika kami sudah terbiasa bertegur sapa di Yahoo! Messenger, aku beranikan diri bertanya, apakah dia mencintai istrinya, dan ia pun mengiyakan sembari menambahkan kalau dia sangat mencintai istrinya, tetapi masih membutuhkan pelukan pria di malam – malamnya. Harusnya aku membenci dia saat itu juga, aku membutuhkan cinta, bukan hanya kepuasan nafsu semata, aku butuh pelukan tidak hanya saat aku telanjang, tetapi pelukan disaat aku berpakaian lengkap, ditempat umum jika perlu. Tapi, aku tidak membencinya, aku bahkan semakin menggilainya. Kuminta nomor ponselnya, dan mengirim pesan singkat, walaupun sebagian besar tak pernah dia balas. Aku bahkan mengirimkan fotoku dengan pose menantang untuknya, sesuai dengan yang ia minta. Aku merasa seperti manusia murahan yang mengiba cinta pada orang yang sebagian dirinya sudah dimiliki orang lain. Tapi, aku biarkan perasaan itu menguap, karena aku mencintainya.
Cukup aneh bahkan untuk orang yang aneh seperti aku, mencintai seseorang hanya dengan melihat fotonya. Hanya dengan menerima kata – kata indah yang ia ketik di messengerku, hanya dengan pesan – pesan singkat sederhana yang ia torehkan di ponselku. Aku tergila – gila padanya.
Aku ingin sekali bertemu dengannya, hanya makan malam saja cukup, tak perlu seks sesudahnya, walaupun dadaku berdesir setiap kali aku melihat fotonya yang baru keluar dari kolam renang, rasanya dada yang bidang itu seperti menarik – narik aku untuk mencumbuinya, dan bibirnya seakan berteriak untuk diciumi dan melumat bibirku tanpa ampun. Aku ingin menyerahkan diriku padanya, seutuhnya, jika ia bisa mencintai aku. Cinta, walaupun rasanya sudah muak mendengar kata itu, aku masih membutuhkan cinta dalam hidupku, untuk menerangiku, menuntunku dan menggumuliku.
Satu bulan ini aku berusaha agar ia menemuiku, tapi gagal karena ia terlalu banyak acara diluar kantor. Seringkali ia bilang kalau ia tak sabar untuk bertemu denganku, tapi nyatanya dia hanyalah seorang lelaki yang agak egois. Bukankah semua lelaki begitu? Aku tetap sabar sampai detik ini. Aku sangat yakin bahwa ia adalah seseorang yang sempurna untukku. Tak terbersit sedikitpun keraguan bahwa ia adalah orang yang salah. Aku menggilainya.
Saat itu aku hanya ingin dia, hanya dia, walaupun aku tak ingin merebutnya dari orang yang ia tiduri setiap malam. Aku hanya ingin secuil cintanya untukku, sedikit hangat tubuhnya untukku dan seulas senyumnya untukku. Hanya itu. Sampai saatnya tiba, aku akan menunggunya disini, ditengah kesendirian dan kesakitanku yang perlahan mulai memudar sejak aku menemukannya.
Saat itu pun tiba…
Hari itu tak biasanya ia meneleponku, bukannya selama ini ia tak mau meneleponku, aku yakin itu karena ia tak punya cukup waktu untuk itu, atau ia tak mau istrinya mengetahui bahwa suaminya sedang main gila dengan seorang lelaki. Tapi hari ini lain, mungkin birahinya sudah memuncak akibat foto yang aku kirim beberapa waktu yang lalu, mungkin juga ia sangat ingin bertemu denganku untuk mengetahui apakah aku nyata, sebagaimana akupun bertanya – tanya, apakah ia indah dan sempurna seperti yang aku bayangkan.
Ia meneleponku untuk membuat janji bertemu denganku hari ini. Kencan! Aku seperti melayang hari itu, semua pekerjaanku, janji dengan klien – klienku terasa begitu menyiksa, hari terasa begitu panjang karena aku menunggu tenggelamnya matahari untuk melihat sang pujaan jiwa. Janji kamu hari itu bertempat di sebuah restoran favoritnya di Plaza Senayan, aku tak begitu sering makan disana, karena kupikir itu terlalu mahal untuk ukuran kantongku yang sering merengek minta diisi. Kukirim pesan singkat untuk mengetahui keberadaannya saat itu, ternyata ia masih terjebak macet di semanggi. Aku pun mencari meja, dan memesan secangkir teh untuk meredakan kegugupanku.Kurasakan jantungku mulai berdetak kencang, kucoba menyalakan laptop ku dan membuka sebuah hidden folder yang berisikan foto – foto yang ia kirim padaku. Lagi – lagi aku tertegun melihat foto – foto itu, my charming king, too bad he already had his queen. Sudah sepatutnya bukan, lelaki setampan dia memiliki seorang queen, instead of a drag queen seperti aku? Aku sedikit terkikik, mendengar pikiranku sendiri.
“ Sammy?”
Panggilan itu membuatku tergelagap, Ya Tuhan! Ia berada tepat di hadapanku saat ini, Sang Raja tampanku, Tristanku, Romeoku. Wajahnya lebih indah dari apa yang biasa aku lihat di komputerku, badannya tinggi besar, senyumnya lebar dan pandangan matanya membuatku tak bisa berbicara saat itu.
“…Mm.. Raditya?” tanyaku, Bodoh, jelas – jelas orang ini memang Raditya yang sudah kutunggu – tunggu sejak tadi.
Pertemuan kami saat itu berlangsung cukup lama, kami bercanda, mengobrol mulai dari hal – hal sepele seperti acara TV kesukaannya, gadget favoritnya hingga masalah politik yang sebenarnya aku sebal membahasnya, tapi bagiku rasanya topik mengenai kotoran kambing pun akan terasa sangat menarik untuk dibahas bersamanya. Malam mulai beranjak, kami pun memutuskan untuk melangkahkan kaki kami menuju sebuah hotel di kawasan Wahid Hasyim, kebetulan istrinya sedang keluar kota, jadi ia bisa bebas menginap bersamaku malam itu. Harusnya aku merasa kasihan pada istrinya, disaat ia sedang bekerja di luar kota, suaminya malah memadu birahi bersamaku. Akal sehatku sudah tak bekerja dengan sehat lagi malam itu, aku hanya ingin bersamanya, apapun yang ia inginkan, akan kuberikan padanya.
Kami bercinta malam itu, walaupun aku tak yakin dia mencintaiku, tapi aku jelas – jelas mencintainya bahkan sebelum kami bertemu. Malam itu aku menyerah kalah, ketika bibirnya yang indah mulai menyentuh leher, kuping hingga perutku. Aku hanya bisa mendesah ketika jemari tangannya yang kokoh mulai menjelajahi bagian paling pribadiku. Bahkan aku menyerah ketika ia memaksa ingin memasuki diriku, aku menjerit dalam sakit dan nikmat ketika ia berada dalam diriku, hingga akhirnya tubuh berpeluh itu terkulai lemas diatas tubuhku. Aku mencintainya. Aku menggilainya.
Setelah hari itu, kami mulai membuat jadwal pertemuan, jadwal bercinta tepatnya, selalu dimulai dengan makan malam dan diakhiri dengan peluh dan pesanan room service di tengah pagi buta. Kadang ia memelukku sampai pagi, tapi tak jarang pula ia mengecup keningku dan meninggalkanku di tengah malam seperti pelacur. Tapi aku bahagia, karena ia selalu meneleponku di pagi hari, untuk menanyakan keadaanku. Aku selalu menjawab kalau aku baik – baik saja dan aku mencintainya. Walaupun ia tak pernah membalas pernyataan cintaku, aku tak mengeluh, karena aku tahu ia memiliki perasaan yang sama terhadapku. Cinta tak harus diucapkan di bibir, terkadang bisa diungkapkan dengan berbagai macam cara, tidur bersama misalnya.
Hari itu, tepat 6 bulan sejak pertemuan kami yang pertama, tepat 6 bulan pula sejak ia mengoyak dan menindih tubuhku. Aku mulai berpikir terlalu jauh tentang hubungan kami, aku mulai menuntut lebih dari hubungan seks setiap jumat malam. Aku ingin perhatian lebih, aku menginginkannya lebih dari apapun di dunia ini. Aku mulai bertanya kenapa ia tak pernah mengatakan bahwa ia mencintaiku, dan ia selalu mengalihkan pembicaraan. Aku teringat dulu diawal perkenalan kami, aku pernah menanyakan apakah ia mencintai istrinya, dan ia menjawab lugas bahwa ya, ia mencintai istrinya. Aku mulai sering mengirimkan pesan singkat lewat ponselku, hanya untuk bertanya, dia sedang ada dimana, sudah makan atau belum, dan pertanyaan – pertanyaan posesif lainnya. Ia tak pernah membalas.
Suatu malam, di sebuah kamar hotel, tepat setelah kami berdua terengah – engah dalam kubangan keringat kami, ponselku berdering, di seberang sana, ada suara wanita yang terdengar dingin, marah dan terluka. Sang ratu telah mengetahui semuanya, sang ratu ingin sang raja berhenti menemuiku, sang ratu ingin aku pergi dari kehidupannya dan sang raja. Kututup ponselku dan menyadari bahwa air mataku telah menggenang, air mata yang selama ini tak pernah mengalir semenjak ayahku meninggal 10 tahun yang lalu. Kuguncang tubuh Raditya dengan putus asa, kuciumi bibir dan tangannya sambil meraung kencang, aku tak ingin kehilangan dia, aku tak ingin malam – malamku tanpa kehadiran dia, aku tak ingin berhenti jadi gila karena menginginkannya. Kuceritakan apa yang terjadi, dan kusuruh ia pulang menemui istrinya. Ia hanya terdiam, tanpa bicara apa – apa langsung berpakaian, mengecup keningku dan meninggalkanku sendirian malam itu. Aku merangkak menuju kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutku.
Hari itu, tepat 7 hari setelah kejadian malam itu, 7 hari pula Raditya tidak menghubungiku, ponselnya tak pernah lagi aktif, messengernya pun begitu. Aku merasa hampa dan terbuang, kecewa dan terlunta. Insomnia mulai merayapi malam – malamku, hanya rokok dan berbotol – botol air putih menjadi sahabat sejatiku saat itu. Hingga malam itu, aku sudah tak tahan lagi, aku bergegas mencari alamat rumahnya, aku harus bertemu dengannya.
Taksi yang kutumpangi berhenti di depan sebuah rumah besar, di kawasan Jakarta Barat. Kulewati gerbang rumahnya yang setengah terbuka, setengah berlari menuju pintu rumah Raditya. Dengan gemetar kuketuk pintu itu perlahan, dan seraut wajah cantik muncul dari balik pintu. Wanita itu begitu cantik dan elegan, berperawakan ramping, dengan sepasang kaki jenjang yang mengintip di balik gaun tipisnya. Cantik, dingin dan terluka. Kuutarakan maksud kedatanganku untuk menemui Raditya, dan memperkenalkan namaku. Wanita itu meradang ketika mendengar namaku, ia menerjang, memukul, mencaci dan mencakariku seperti hewan buas yang terluka. Aku tersentak dan merasakan tubuhku sangat lemas tanpa bisa melawan semua pukulan dan caci makinya. Hingga akhirnya ia kelelahan dan meninggalkanku, aku hanya bisa terbaring di depan pintu rumah Raditya dengan luka – luka berdarah di wajah, lengan dan dadaku. Aku tak mampu lagi berdiri, rasa sesal dan sakit hatiku menggemuruh di dadaku. Tapi aku tak mampu bangkit dan membalas semua perlakuannya padaku. Memang seharusnya ini yang terjadi, aku sudah merusak kebahagiaan wanita ini, tapi bagaimana dengan kebahagiaanku? Apakah ada yang peduli? Seraut wajah indah yang amat kukenal datang menghampiri, tapi tampak pucat.
Ia meraih tubuhku, memeluk dan menangis sejadi – jadinya. Ia minta maaf, dan akhirnya ia mengatakan sebuah kalimat yang kuimpikan selama ini, Ia mencintaiku. Tapi semuanya sudah berakhir, ia tak mungkin meninggalkan istri dan anak – anaknya, ia sudah bersumpah di bawah Al – Quran bahwa ia tak akan pernah menemui aku lagi. Aku dianggap hina, nista dan haram buat Raditya.
Hari ini, sampai detik ini, aku masih mencintainya, tapi aku telah melepaskannya, aku tak menyesal, sakit yang kudera akibat siksaan dari istri Raditya, tak sebanding dengan luka menganga yang ada didalam jiwaku, luka yang perlahan mulai menutup dengan ketulusan, cinta sejati memang tak harus memiliki, cintaku pada Raditya tak akan pudar. Hanya waktu yang bisa mengikis cintaku padanya. Walaupun selamanya aku akan terjebak dalam niskala karenanya. Raditya, satu – satunya cinta dalam hidupku. Selamanya.
Bandung, October 3, 2008 00:55
Wednesday, October 08, 2008
Patience My Dear.. Patience..
Wednesday, September 10, 2008
Why Me? Why?
Jakarta September 11, 2008, 9:15 AM
Begitu Salah Begitu Benar
aku bahagia dengar kata cintamu
Tapi aku sedih menerima kenyataan
bahwa tak hanya diriku yang menjadi milikmu
bahwa tak hanya diriku yang menemani tidurmu
bahwa tak hanya diriku ada di hatimu selamanya
ini begitu salah tapi ini juga
begitu benar untuk aku yang dilanda
cintamu yang terus membakar aku
Cintamu yang akhirnya membunuhku
aku bahagia dengar kata cintamu
tapi aku sedih menerima kenyataan
bahwa tak hanya diriku yang menjadi milikmu
bahwa tak hanya diriku yang menemani tidurmu
bahwa tak hanya diriku yang slalu ada di hatimu selamanya
bahwa tak hanya diriku yang menangis
saat kau terpisah dengan ku
bahwa tak hanya diriku yang terbunuh
saat kau ada bersamanya
ini begitu salah tapi ini juga begitu benar untuk
aku yang dilanda cintamu yang terus membakar aku
cintamu yang akhirnya membunuhku
ini begitu salah tapi ini juga begitu benar untuk
aku yang dilanda cintamu yang terus membakar aku
cintamu yang akhirnya membunuhku
Ini begitu salah tapi ini juga begitu benar untuk
aku yang dilanda cintamu yang terus membakar aku
cintamu yang akhirnya membunuhku ...
*[aku yang dilanda cinta yang aneh, yang terus melanda, berharap untuk segera bertemu denganmu...]*
Tuesday, September 09, 2008
The Last Day of Jakarta
Jalan menuju rumahnya yang berada di utara Jakarta, yang biasanya lengang kini tampak carut marut, penuh dengan manusia – manusia yang begitu marah dan mengamuk. Dikelilingi asap tebal yang mengepul dari mobil – mobil yang dibakar membuat Ritta melebarkan matanya menghadapi jalan raya.
Mudah – mudahan kerusuhan tidak sampai ke daerah rumahnya, pikiran itu terus diulang – ulangnya dengan panik. Matanya basah mengingat kondisi Ashlan yang ditinggalkannya dan suaminya Armand yang sudah satu minggu lebih tidak pulang. Beruntung atasannya Pak Adrian, mengizinkannya pulang lebih cepat.
Armand.. ya Armand yang begitu ia cintai, begitu ia kagumi sepanjang umur pernikahan mereka telah mendua. Ritta memergokinya sedang memasuki sebuah hotel bintang lima di kawasan mega kuningan, ketika ia sedang dengan senangnya menimang hadiah ulang tahun yang baru dibelinya untuk Armand. Ia teringat saat itu badannya serasa membeku dan lututnya terasa sangat lemas hingga ia terduduk di trotoar setelah mobil Armand dan perempuan itu memasuki pelataran lobby hotel tersebut. Beruntung salah satu satpam hotel itu membantu dirinya yang hampir membeku di trotoar dan membantunya memasuki mobilnya yang terparkir tak jauh dari hotel itu. Ia bergegas memacu mobilnya menuju gedung kantornya dan menangis tanpa suara di dalam mobilnya. Hatinya begitu terguncang melihat Armand, Armand yang setia, Armand yang merupakan menantu favorit ayahnya, Armand yang selalu hadir disisinya saat ia sedih.
Sejak hari itu Armand seakan menghilang, tak masuk kantor, dan juga tak pulang ke rumah. Ritta telah kehabisan air mata dan tenaga untuk mencari suaminya. Ia pasrah, sampai suatu hari ia memergoki Armand untuk kedua kalinya di sebuah mall. Amarah dan kekecewaan yang memuncak, membuatnya berani memanggil suaminya yang sedang duduk di sebuah coffee shop, tertawa – tawa dengan seorang perempuan cantik berambut merah.
“ Mas Armand?..” ucap Ritta bergetar menahan tangis seraya mendekati meja Armand.
“ Rit..Ritta?” Armand tergelagap terkejut melihat kedatangan istrinya.
“ Gila kamu mas, satu minggu aku nyari kamu, satu minggu aku ga tidur nungguin kamu.. sekarang kamu ada disini, sama perempuan lain!! Otak kamu ada dimana mas??” seru Ritta tertahan, emosinya tidak membuatnya menjerit atau menampar Armand, yang begitu ingin ia tampar sejadi – jadinya.
“ … kita cari tempat lain yuk, aku jelasin..” Armand yang tampak lemas menggandeng Ritta mencari tempat lain, meninggalkan wanita yang anehnya tampak tak terkejut melihat kedatangan Ritta. Dasar pelacur murahan! Dengus Ritta dalam hati sambil melirik tajam kearah perempuan itu. Penjelasan selanjutnya dari Armand ternyata sesuai dugaannya selama ini.
“ Aku sudah menikah siri dengan Nora…maafkan aku Rit” ucap Armand perlahan.
“ Maaf??? Kamu bener – bener udah gila ya mas?” seru Ritta
“..a..aku mencintai dia Rit, sejak sebelum menikah dengan kamu..”
Ritta merasa dadanya tertusuk, jadi selama ini suaminya telah berpura – pura mencintainya, berpura – pura menikmati hubungan mereka ditempat tidur, semuanya pura – pura. Ritta merasa mual.
“ Cukup mas, aku mau pulang..” ucapnya lirih seraya berjalan tertatih menuju pintu keluar. Armand bahkan tak mencegah kepergiannya. Betapa ia telah merasa tertipu, merasa dibodohi oleh sikap Armand yang penuh kasih sayang selama ini.
Gemuruh hujan dan bunyi sirene pemadam kebakaran mengejutkan Ritta dari lamunannya. Tanpa sadar ia sudah berada di depan lobby apartemennya. Ritta Bergegas meninggalkan mobil dan berlari memasuki lift dan menekan angka 35. Sekilas ia melihat pepohonan yang beriak tertiup angin yang menderu disertai hujan yang menggila. Hujan yang sudah satu bulan ini membekukan Jakarta, belum lagi demonstrasi yang tanpa henti dibuat oleh manusia – manusia yang tak kenal lelah memperjuangkan aspirasi mereka yang membabi buta, bahkan ditengah badai yang bisa memporak porandakan aksi mereka.
Ritta berjalan menuju unit apartemennya, dan tercekat melihat pintunya setengah terbuka. Ashlan! Pekiknya sambil menerobos kedalam apartemennya. Pemandangan yang mengejutkan menyambutnya di ruang tamu. Armand dan perempuan setan itu! Armand yang sedang menggendong Ashlan, sambil membawa koper, terkejut melihat Ritta yang terengah dengan mata memerah menahan amarah.
“ MAU KEMANA KAMU???” jeritnya
“Mau dibawa kemana Ashlan ?? “ Jeritnya lagi, kali ini airmatanya sudah menggenangi kedua bola matanya.
“ Lebih baik Ashlan ikut sama aku Rit, di daerahku masih lebih aman situasinya”
“ Iya Rit, biar Ashlan ikut sama kita dulu ya..” perempuan iblis itu menimpali dengan tenangnya.
“ Tidak!! Tidak ada yang bisa memisahkan aku dengan anakku, anak yang kau dapat dari hasil berpura - pura, Armand, ingat??!” sergah Ritta
“ Udahlah Rit, kamu ga liat diluar, badai kencang sekali! Ashlan bakal lebih aman bersama kita berdua..” Tukas Armand.
Berdua? Armand, si perempuan setan akan mengasuh anak yang telah menjadi hidup dan matinya.
Entah ada kekuatan dari mana, Ritta menarik Ashlan yang tertidur, menghempasnya ke sofa hingga terbangun dan menangis.
“ Kalau kamu mau ambil anakku, bunuh aku dulu mas!” teriak Ritta, putus asa. Sekilas ia melihat pintu jendela besarnya yang sedikit terbuka. Dengan membabi buta, ia mendorong Armand dan Nora kearah jendela itu. Armand dan Nora yang tak menyangka Ritta akan berbuat seperti itu, terlambat untuk melawan. Keseimbangan mereka goyah, dan terdorong jatuh keluar jendela dari lantai 35 apartemen Ritta dan Armand. Ritta bergetar hebat, nafasnya memburu, melihat kebawah balkonnya, Armand dan Nora sudah tewas, bergandengan tangan di atap lobby apartemennya.
Di saat yang sama, Ritta melihat ombak yang teramat besar berdiri di kejauhan dan semakin mendekat. Ritta tercekat, Ashlan! Ia meraih tubuh anaknya yang masih menangis, memeluknya sambil berbisik lirih,
“ Allahu Akbar…..”
Jakarta, September 9, 2008 20:20:00
Monday, September 08, 2008
Unreasonable Tears
the one I've never met
I remembered the first time I saw your picture
I gasped and felt my heart beat faster..
Funny how I could fall for you, just from a single picture
I just want to see you..
I just want to know that you're real..
I just want to feel your touch..
Now I'm in tears
a tears for someone I've never met
strange, but true
I want to meet you so bad I just didn't know what to do right now
Please, my dear, I will go wherever you want me to go..
Just let me see your eyes..
---aku jatuh cinta sama kamu... dan kamu tau itu---
Monday, August 18, 2008
LUPA?
Satu hal yang bikin gue menghela nafas panjaaaaaaaang setelah baca novel ini adalah : Gue lupa rasanya jatuh cinta!!
Gue lupa rasanya gimana waktu muka memerah dan tersipu – sipu saat gue ketemu orang yang gue suka, gue lupa rasanya deg – degan ketika seseorang beradu pandang dengan gue, gue lupa rasanya jadi malu banget ketika ketemu orang yang gue taksir. My God, selama itukah gue ga jatuh cinta?
Apa mungkin efek jatuh cinta beda – beda ya? Ada orang yang tersipu – sipu, ada yang jadi diem, ada juga yang hatinya kaya ditusuk kalo ketemu orang yang ditaksir, kaya gue. Kenapa efeknya di gue langsung sakit ya? Mungkin karena gue selalu jatuh cinta sama orang yang ga mungkin buat gue. Kalo gue roboy mungkin gue harus ke bengkel nih, ngebenerin isi otak sama hati gue (robot mana punya hati??).
Rasanya pengen sih memulai sebuah hubungan spesial sama seseorang, gue Cuma gat au harus mulai dari mana, karena prosesnya cukup makan waktu, dan cukup makan hati. At the end of the road mungkin gue dah ga punya hati gara – gara ngejar cinta seseorang, ironis, mengingat jatuh cinta itu pake hati, bukan pake otak! Makanya jangan pernah nyalahin seseorang kalo jatuh cinta sama orang yang salah, soalnya cinta ga pake otak, ga pake logika, Cuma hati ketemu hati, mata ketemu mata dan bibir ketemu bibir, no brain needed!
Bukannya gue ga pernah usaha, chatting udah, land coffee udah (kopi darat maksudnya heehehe), ada yang bilang, Tuhan bakal ngebantuin kalo lo juga usaha keras, tapi ada juga yang bilang kalo jodoh ga usah dicari ntar juga dateng sendiri, gimana sih??
Yang gue butuh sekarang Cuma sebuah hubungan platonis aja, ga usah ribet – ribet mikirin sex, Cuma seseorang yang bisa sms – sms ga penting, nemenin belanja, nemenin makan kapan aja (jam 12 malem sekalipun). Simple bukan? Tapi susahnya minta ampun. Disaat temen – temen gue udah pada ganti – ganti pacar, gue ga punya satu pun yang bisa diganti – ganti. Well I just believe in Cinderella Philosophy, someone will eventually come, someone that is destined to be with you.
Oke, gue harus tidur nih, besok gue harus work-work-work-work, and sell-sell-sell-sell, and have sex-sex-sex-sex hahahahaha, oh I just need some love-love-love-love..
Jakarta, August 19, 2008 00.00
Friday, August 15, 2008
The Last Day of Jakarta
Adrian merapatkan jaketnya, langit yang mendung dan udara yang menusuk membuatnya mempercepat langkahnya menuju tempat tinggalnya. Kamar yang disewanya terletak di daerah gunung sahari, di utara Jakarta. Sulit ia percaya bahwa kota ini bisa menjadi sedingin dan semuram ini. Pertama kali ia menjejakkan kakinya di Jakarta, tahun 2008 untuk mengejar karir dan melupakan luka hatinya yang tertinggal di Bandung. Dalam kurun waktu 5 tahun sejak ia tinggal di Jakarta, perlahan kota ini mulai muram, langit mendung mulai sering mendatangi, juga hujan deras yang tak hentinya mengunjungi tanah Jakarta yang gersang. Hujan yang menyebabkan banjir, kelaparan dan kerugian bermiliar – miliar dari warganya. Belum lagi bahan makanan dan bensin yang terus meroket. Demonstrasi mahasiswa yang tak lagi santun, dan pemerintah yang makin hari makin tak bisa dipercaya. Ini Jakarta, tahun 2013.
Adrian memutar kunci kamar sewaannya, masuk dan mulai melepas jaketnya sambil menggeletar kedinginan. Ia menekan tombol remote televisinya, mencari saluran berita, hal yang terus dilakukannya sejak 6 bulan lalu sepulang kerja, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Jakarta. Tergambar di layar televisinya, laporan badan meteorology dan geofisika tentang fenomena cuaca di Jakarta yang diguyur hujan badai tanpa henti.
Ia berbaring, tiba – tiba terlintas di benaknya, bagaimana jika ini pertanda hancurnya kota ini? Bukankan sudah pernah ada ramalan jika Jakarta akan tenggelam? Adrian menegang. Teringat ibunya yang begitu sabar menantinya pulang setiap 2 minggu, teringat Elson yang selalu siap menemaninya jika ia pulang ke Bandung. Elson yang diam – diam ia cintai selama 10 tahun. Elson yang selalu tersenyum, tanpa tahu apa yang ada di benak Adrian sebenarnya. Mereka tak pernah tahu kalau Adrian berbeda dengan pria kebanyakan, Adrian hanya mencintai Elson, seorang lelaki, seperti dirinya.
Tak pernah terbayangkan oleh Adrian jika ia harus terbuka mengenai keadaan dirinya pada ibunya. Ibunya yang cantik, tegar, sabar tetapi selalu mengingatkan Adrian, kalau dia tak mau Adrian menjadi gay di Jakarta.
“kamu jangan sampe jadi homo ya nak..” cetus ibunya setiap kali Adrian akan berangkat ke Jakarta. Adrian hanya tersenyum. Perih. Perih karena tak bisa jujur pada satu – satunya orang terpenting dalam hidupnya. Perih karena takut ibunya dan Elson takkan menerima kenyataan hidup Adrian yang berbeda.
Adrian menggeletar kedinginan, kamarnya yang seluas 4 x 6 itu mulai terasa sangat dingin, ia menutup jendela kamarnya. Pekerjaannya sebagai sales representative sebuah hotel ternama di Bandung mulai terasa semakin berat, bagaimana tidak, banyak Negara yang memberikan warganya Travel Warning agar tidak pergi ke Indonesia, ia juga mendengar, di Bali, banyak usaha yang bangkrut karena cuaca yang tak menentu membuat pantai – pantainya sangat berbahaya untuk dikunjungi. Tetapi Adrian tetap bertahan, baginya setidaknya ia masih memiliki pekerjaan yang bagus, bisa menghidupinya dan membayar hutang – hutangnya.
Tiba – tiba ia mendengar suara ketukan di pintunya, diantara suara angin badai dan hujan yang menderu kejam. Ia membuka pintu. Elson!
“Elson?..”
“Hai dri, sori gue ga ngabarin ya..” ucapnya seraya menggeletar kedinginan.
“ Oh ga pa pa kok, ayo masuk, diluar hujan gede kan?” Adrian berusaha menguasai dirinya. Ia terkejut sekaligus senang Elson tiba – tiba ada di pintu kamarnya, sejak Elson mempunyai pacar, Adrian berusaha menjaga jarak agar Elson tidak tahu bahwa Adrian sangat cemburu.
“ tumben sih lo kesini tiba – tiba, Jakarta lagi rawan loh son..”
“ iya gue tau, gue disini buat jemput lo, disuruh nyokap lo dri..”
Adrian menegang. “ E..emang ibu kenapa son? Sakit? Kok dia ga nelpon gue sih?” ujarnya terbata – bata.
“ Nyokap lo sehat banget kok dri, Cuma dia khawatir liat berita di TV, dia nyuruh gue kesini buat liat lo, sekalian jemput lo balik ke Bandung”
“ Oh gitu..” lega merasuk tubuh Adrian. “ tapi kerjaan gue gimana son? Gue masih optimis loh ini semua bakal berakhir”
“ Udah lo balik aja, gue juga khawatir nih, kata temen gue yang di Priuk, air laut udah mulai pasang dan ga turun – turun.” Ujar Elson seraya membuka tasnya.
“ kasih gue waktu ya son, 2 hari ini aja buat beresin semuanya, lo bisa kan nemenin gue?”
“ santai aja, gue ambil cuti seminggu kok dri, eh ada makanan ga? Laper nih”
“ Ada, bentar gue bikinin dulu ya” cetus Adrian sambil beranjak menuju dapur kecilnya.
Malam itu mereka lewatkan dengan bersenda gurau, melepas rindu, bertukar cerita hingga larut malam. Adrian menyiapkan kasur ekstra untuk Elson.
“ Udah ga usah dri, kita tidur berdua aja, dingin banget juga, lo ada selimut kan?”
“…. Ada sih, yakin lo mau tidur berdua? Gw ngorok loh.” Adrian tertawa disela kejengahannya.
“ Udah biasa kale…” ejek Elson sambil berjalan menuju kamar mandi.
Akhirnya malam itu mereka tidur bersebelahan, merapatkan selimut, di sela badai dan hujan yang seakan tanpa hentinya menyiksa tanah Jakarta.
“ …dri, masih bangun kan?” bisik Elson.
“masih son, kenapa?”
“ .. kenapa lo belum juga punya pacar sih? Umur lo dah 30 loh”
Karena aku mencintaimu, masih belum mengerti juga? Pikir Adrian.
“ belum aja son, males juga kok gue..”
“ bukan karena gue kan dri?”
Adrian tercekat, “..mmaksud lo?”
Tiba – tiba Elson bangun dan menatap matanya, “ lo ga ada perasaan apa – apa kan sama gue selama ini?”
Oh shit! Adrian tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Elson, apa mungkin dia mengetahui perasaan Adrian selama ini?
“..ah jangan gila gitu dong, ya ngga mungkin lah gue suka sama lo, udah tidur deh udah jam satu nih..” rungut Adrian, matanya mulai basah.
“ iya becanda kok, gue tidur deeh..” balas Elson sambil membalikkan badan.
Keesokan paginya Adrian bersiap untuk pergi ke kantornya. Rupanya Elson juga berniat pergi untuk menemui beberapa temannya di Jakarta.
“ Ati – ati ya son, hari ini katanya masih ada demo mahasiswa di daerah semanggi, senayan sama thamrin.”
“ iya tenang aja gue ga ke daerah situ kok dri”
Mereka bergegas berangkat, dan berpisah di depan kantor Adrian. Entah kenapa Adrian merasa tidak enak hati. Dengan menggigil ia memasuki pelataran kantornya. Kantor Adrian berada di sebuah gedung mewah di daerah Thamrin. Ia tercengang ketika melihat isi kantornya yang biasanya ramai, kini hanya tertinggal satu orang, sekretarisnya, Ritta.
“ lho, rit, pada kemana nih orang – orang? “ tanyanya.
“ Waduh pak, pada kejebak banjir nih, ada yang mudik juga karena keluarganya khawatir sama kondisi kota, saya juga hari ini harus pulang cepat, soalnya anak saya demam tinggi” jawab Ritta. Wajahnya tampak khawatir.
“Oh my God, ya udahlah kamu pulang aja Rit, aku juga hari ini ga kemana – mana kok, mau bikin budget tahun depan aja di kantor.”
“ Beneran pak, ya udah saya pulang ya, file – file bapak sudah saya siapin di meja bapak.” Ujar Ritta seraya membereskan tasnya.
“ Oke, kamu ati – ati ya Rit..”
Adrian mengehempaskan tubuhnya di kursi kantornya. Bagaimana ini, pekerjaan menumpuk untuk pembuatan budget tahun 2014, tapi semua orang pergi dengan alasan masing – masing. Duh, kenapa harus begini sih? Rutuk Adrian.
Adrian melanjutkan pekerjaannya sampai siang itu, ia baru berhenti ketika perutnya mulai meronta. Adrian melirik jam tangannya, teringat akan Elson. Ia mengambil ponselnya dan mulai menelepon Elson.
“ Halo dri..”
“ Son, dimana lo? , kok ribut banget sih?” tanya Adrian, perasaannya kurang enak mendengar suara – suara di belakang Elson.
“ Aduh dri, gawat, gue kejebak demo nih, tadi taxi yang gue pake, diberentiin, gue sekarang di depan monas nih, kacau banget dri..” ujar Elson panik.
Detak jantung Adrian mulai berpacu kencang.
“ Oke, gue nyusul kesana ya son, lo jangan kemana – mana sampai gue dateng.”
“iya dri, gue tungguin lo disini..”
Secepat kilat Adrian membereskan barang – barangnya dan melesat menuju pelataran gedung untuk mencari Taxi.
Di luar dugaan, suasana di depan gedung sudah sangat kacau, kemacetan yang panjang, kerumunan manusia yang tak tentu arah, asap kendaraan yang dibakar memenuhi udara sekitar Adrian. Adrian meradang, perutnya serasa diaduk mencium bau ban dan mobil yang dibakar. Bercak cipratan darah di trotoar membuatnya limbung. Sejenak ia mendengar teriakan – teriakan lantang orang – orang di sekitarnya
“ Kita tidak butuh pemerintah yang goblok! Turunkan harga!”
Adrian tak mau membuang waktu lagi, ia menerobos kerumunan orang dan mulai berlari menuju monas, mencari Elson. Kekacauan itu ternyata berlangsung sepanjang Thamrin, Bundaran HI dan Lingkar Monas. Nafas Adrian memburu, ia harus mencari Elson ditengah kekacauan ini. Asap dari gas airmata yang dilempar petugas anti huru hara tak dipedulikannya, aku harus mencari Elson, tekadnya.
Sampai di lingkar monas, Adrian mulai mencari Elson dengan nafasnya yang terengah – engah, matanya mulai mencari sosok Elson. Tiba – tiba sekerumunan orang berteriak – teriak seraya memukuli seseorang ditengah – tengah mereka. Adrian berlari menghampiri kerumunan itu, tolong, jangan Elson, jangan.. Elson!
Elson yang sudah berlumuran darah berteriak – teriak minta ampun. Adrian meradang, berteriak lantang “ HEI!! HENTIKAN!!!!!” seraya menerobos kerumunan itu dan menutupi tubuh Elson dengan tubuhnya. “ PERGI KALIAN!!!” teriak Adrian, putus asa melihat kerumunan manusia yang seakan haus darah. Kerumunan itu terus memukuli Adrian, sampai Adrian tersungkur sambil tetap melindungi tubuh Elson dengan tubuhnya. Adrian merasakan tulangnya seakan remuk dihantam bertubi – tubi dengan berbatang – batang kayu yang mereka bawa. Entah kenapa, kerumunan itu mendadak bubar seraya berteriak ketakutan.
Adrian merasa begitu hancur, ia beranjak seraya melihat keadaan Elson, ternyata ia masih sadar, dengan begitu banyak luka di kepalanya akibat pukulan keras yang bertubi – tubi.
“ Elson, elson, lo masih bisa bangun?” tanya Adrian, matanya mulai basah.
“..dri, lo ga apa apa kan? “ rintih Elson.
“ Gue ga apa – apa son, gue ga apa – apa, lo bisa bangun?”
“ ..ga bisa dri, kaki gue mati rasa, kayanya kaki gue ketembak dri”
Adrian melihat pergelangan kaki Elson, dan pertahanan dirinya mulai runtuh, ia tak bisa menahan air matanya melihat keadaan Elson. Adrian mulai menyadari bahwa mereka berdua berada di tengah jalan raya yang masih riuh, tetapi orang - orang berlarian, ketakutan.
“…dri..” ujar Elson pelan, nafasnya mulai pendek
“ ya Elson..” jawab Adrian sambil menghapus airmatanya.
“.. gue tau kok semuanya, lo selama ini mencintai gue kan?”
“gimana lo bisa tau son?” airmata mulai membanjiri mata Adrian lagi.
“.. gue, uhukkk…, gue pernah baca tulisan lo di laptop lo waktu itu “
“ maafin gue son, gue ..gue .. ga bermaksud mengkhianati persahabatan kita.” Isak Adrian.
“..siapa yang mengkhianati dri, gue sayang sama lo dri, seharusnya gue sadar dari dulu kalo lo yang lebih mencintai gue dibanding semua perempuan yang pernah gue pacarin..”. Suara Elson mulai melemah.
“ Gue bukan gay dri.. tapi gue cinta sama lo..” lanjutnya pelan.
Adrian seakan kehilangan kontrol, ia memeluk Elson yang terbaring lemah dan menangis sejadi – jadinya. Ia mulai merasa pelukan Elson melemah.
“…jangan tinggalin gue son, jangan…” isak Adrian
Elson menggenggam tangan Adrian. Lalu genggaman itu lepas. Elson sudah meninggalkan Adrian. Untuk selama – lamanya.
“ TIDAAAAAAKKKK…!!!” jerit Adrian, hatinya sangat hancur, disaat ia dan Elson sudah mengetahui perasaan masing – masing, Elson meninggalkannya di tengah – tengah kekacauan Jakarta.
Tiba – tiba terdengar suara gemuruh keras, diiringi dengan getaran kencang tepat dibawah Adrian terduduk sambil memangku tubuh Elson. Adrian terpana melihat jalanan disekitarnya mulai meretak, pohon – pohon tumbang, diujung sama ia melihat tugu Monas kebanggaan Jakarta mulai bergetar hebat hingga akhirnya runtuh dan menimbulkan kepulan asap tebal yang membutakan mata.
Gemuruh itu semakin kencang, di sela – sela asap, Adrian melihat air setinggi gedung pencakar langit mulai mendekat. Tsunami! Di tengah kota! Artinya daerah pinggir laut sudah musnah! Adrian hanya terpana dan memeluk jenazah Elson seerat-eratnya. Ia pasrah ketika air itu mulai menelan tubuhnya dan Elson. Adrian hanya bisa memeluk Elson dan memasrahkan dirinya pada Tuhan.
“Ibu…maafkan Adrian bu…” ucapnya lirih sesaat sebelum ombak itu menimpa dan menelannya hidup – hidup.
Gunung Sahari, Jakarta July 27, 2008 20:59
PERTEMUAN
Disaat aku begitu menginginkannya, dia menikah, dan aku tersentak, impianku hancur. Aku tak datang ke pernikahannya, saat itu aku sedang mengelola eksibisi, dan harus secepat mungkin pulang ke Bandung untuk mengejar keesokan harinya. Agaknya, itu cuma alasan, aku benar – benar tak ingin melihatnya ada di pelaminan bersama orang lain. Pernikahan itu betul – betul megah, sampai – sampai presiden pun datang untuk memberi selamat, kedengarannya agak berlebihan, tapi itulah kenyataannya, ayahnya pejabat besar yang dihormati di Jakarta, setidaknya itu yang kubaca di sudut Koran pagi.
Pertama kali bertemu, kami masih sama – sama kuliah di tempat yang sama di Bandung. Begitu banyak orang yang mengaguminya, tak sedikit juga yang menjadi pacarnya. Dia begitu bercahaya, senyum lebar yang memikat, tapi tak sedikit pun aku berani mendekatinya. Bahkan aku tak bermimpi bisa jadi temannya saat itu. Karena kesibukan dan waktu, aku berhasil melupakannya saat itu, aku berusaha menghindar tempat – tempat yang biasa menjadi tempat ia berkumpul bersama teman – temannya, kuhindari kemungkinan sedikit pun untuk bertemu dengannya. Aku tak ingin lepas control dan bertindak bodoh, aku juga tak mau mempermalukan dia didepan teman – temannya.
Bertahun – tahun berlalu. Saat itu, aku baru diterima di sebuah perusahaan yang cukup besar di Bandung. Aku mulai sering melakukan business trip ke Jakarta. Satu saat, aku bertemu dengan rekan kerjaku di Jakarta, dan ia memperkenalkan aku pada beberapa rekan di cabang perusahaan di Jakarta. Ia menunjukkan juga beberapa kartu nama kolega – koleganya di Jakarta. Aku terpana ketika melihat sebuah nama yang tidak asing, nama yang selalu ada di kepalaku sejak bertahun – tahun yang lalu, Dia, ternyata nasib akan mempertemukan kami lagi. Aku tak tahu apakah harus bahagia atau gugup karena aku akan bertemu dengannya. Seingatku, malam itu aku tak bisa tidur, memikirkan apa yang harus ku katakana apabila bertemu dengannya.
Ternyata baru tiga bulan kemudian aku baru bisa bertemu dengannya, seperti dulu, dia selalu terlihat mengagumkan. Segar dan menyenangkan, perlahan cahaya yang selama ini menjauhiku mulai datang dan bersinar kembali. Kami tertawa, mengenang masa lalu, mentertawakan kebodohan – kebodohan kami dimasa lalu, dan ia mempertanyakan masa – masa dimana aku tiba – tiba menghilang dari peredaran dan menyibukkan diri dengan tugas – tugas kuliahku. Aku tersipu, bagaimana aku bisa bilang kalau aku mencintainya dan berusaha menghindarinya agar tak bertindak bodoh?
Sejak itu hubungan kami membaik, kami sering berkirim SMS, tak jarang, ia meneleponku untuk sekedar menanyakan kabarku, atau dengan ucapan – ucapan di SMSnya yang singkat, tapi selalu berhasil membuat hatiku hangat. Rasa cinta itu mulai datang membuncah di hatiku. Setelah ia menikah, kami pernah melakukan perjalanan bisnis bersama, dan tinggal sebagai teman satu apartemen selama satu minggu di Surabaya. Seperti merasakan keajaiban, setiap malam aku melihatnya tidur, begitu menggilanya rasa ingin menyentuh dan memeluknya, tapi urung kulakukan karena aku tak ingin dia membenciku. Satu minggu itu adalah satu minggu yang terindah dalam hidupku, seakan aku memiliki seorang pelindung, yang sangat memperhatikan aku. Setelah itu kami sibuk dan tenggelam dalam kesibukan masing – masing. Aku pun mengundurkan diri dari perusahaan, dan memilih pindah ke Jakarta untuk mengejar karir.
Hingga malam ini, aku berusaha menghilangkan kegugupanku, aku harus bertemu dengannya. Hujan mulai menerpa tanah Jakarta. Kucegat taxi, dan berpesan agar secepatnya sampai di tempat pertemuanku dengannya. Jalanan yang macet karena hujan deras dan bisingnya suara klakson seakan tak kurasakan. Aku hanya memikirkan apa yang akan kubicarakan saat ku bertemu dengannya. Bagaimana kalau kami hanya mengobrol kaku? Bagaimana kalau dia tiba – tiba tidak datang? Tanpa sadar taxi yang kutumpangi telah sampai ke sebuah mall terbesar di Jakarta, tempat pertemuanku dengannya. Sebuah pesan SMS masuk, aku tersenyum, ternyata dia sudah datang dan memintaku untuk langsung masuk ke sebuah restoran.
Ia sudah menungguku, masih seperti dulu, selalu tampak mengagumkan, walau dengan jenggot dan cambang yang nyaris menutupi wajah rupawannya. Senyumnya mengembang, seakan ia tahu betapa aku ingin melihat senyumnya. Kami berbicara banyak sekali malam itu, bagai melepas rindu setelah bertahun – tahun tidak bertemu. Kami tertawa keras sekali, sampai membuat orang – orang di sekitar kami menengok. Aku tak peduli, aku begitu senang, bahagia bisa mengobrol dengan lelaki yang menjadi impianku sejak dulu.
Malam semakin larut, kami pun seakan masih tak puas mengobrol, kami pindah ke sebuah coffee house di mall tersebut. Tanpa sadar aku melirik telepon genggamnya, ada foto seorang wanita cantik dan seorang anak yang mirip sekali dengannya. Aku tertegun sejenak, dan sekali lagi aku merasa perih. Dia bertanya, kapan aku akan menyusulnya untuk menikah, memiliki istri dan anak? Aku tergelak dalam kegugupanku, bagaimana aku bisa mencari istri, kalau aku masih mencintai seorang lelaki seperti dirinya? Saat itu aku menyadari pintu masuk untuk mencintainya sudah tertutup. Aku tak mungkin terus mengejar – ngejarnya seperti orang yang tidak tahu diri. Aku tak mungkin mengganggu ketentraman rumah tangganya, aku bukan perusak rumah tangga orang, dan aku tak tahu apakah dia mencintai aku juga atau tidak. Kurasa tidak. Aku rasa sekarang ini aku cukup dengan menjadi sahabat terbaiknya. Melihatnya tersenyum padaku, rasanya sudah lebih dari cukup.
Akhirnya malam itu kami berpisah, dengan bersalaman, seperti layaknya dua lelaki sejati. Panas kurasakan di mataku saat melihat punggungnya kala ia beranjak pergi. Aku pun berjalan mencari taxi. Sunyi kurasakan dalam keramaian Jakarta di malam ini. Pertemuan, ya, pertemuan inilah yang terindah dalam hidupku. Walaupun rasanya aku sudah pasrah dan berhenti berharap. Kunaiki taxi pesananku dengan perasaan lega. Ponselku berbunyi, sebuah SMS darinya,
+62818678XXX
Boleh aku menginap di tempatmu malam ini? Rasanya aku masih ingin mengobrol lebih banyak…
Kubalas,
+62818556XXX
..Boleh lah, aku juga masih ingin mengobrol banyak..
Ternyata kesempatan itu masih ada..
Jakarta, 1 0 April, 2008 22:30
HUJAN, PETIR & SANG PENDOSA
Hujan, hanya mengingatkan aku akan dia, sang cinta dalam hidupku. Seolah masih berdengung dalam telingaku, cerita riangnya akan wanita yang ia sukai. Cinta yang lama telah ia nanti, cinta yang menurutnya baru ia temukan setelah sekian lama mencari tanpa hasil. Aku hanya tertegun, sampai aku menyadari bahwa aku seakan tidak merasakan apapun saat itu. Tidak sedih, tidak hancur, tidak menjerit dan meraung – raung pada Tuhan atas ketidakadilanNya. Tidak. Hanya kosong yang meluap menutupi dera hati yang seakan tertusuk pedang maha tajam. Aku lebih terkejut lagi ketika tanpa sadar aku berujar bahwa aku berharap wanita ini akan menjadi yang terbaik untuk dirinya. Bagai ada jiwa lain yang merasuk tubuhku, aku tersenyum.
Sungguh agung, kepasrahan yang Tuhan berikan kepadaku, aku seakan lupa akan doa – doaku, pintaku, dan permohonanku agar ia mencintai aku, betapapun cinta ini bergelimang dosa dan larangan dari semua orang. Betapa dulu aku menggila, meratap pada Tuhan agar diberi kesempatan untuk merasakan betapa indahnya rasa dicintai. Betapa aku seringnya menggigil, mengharapkan cintanya datang memeluk tubuhku dalam dinginnya malam yang membeku.
Baru saja dia meneleponku, bahagianya ia, resmi sudah hubungannya dengan wanita itu. Sekilas perih menoreh dadaku. Apakah wanita itu akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya? Berkorban sebanyak apa yang telah aku korbankan untuknya? Apakah dia akan selalu ada untuknya disaat ia membutuhkan dukungan? Apakah wanita itu akan tahan menghadapi amarahnya yang terkadang membabi buta? Apakah wanita itu akan mencintainya tanpa syarat?
Aku sang pencinta, sang pendosa, kurelakan berpuluh tubuh meregang diatas tubuhku agar aku bisa melupakan cintaku padanya, kurelakan rasa jijik datang setiap kali aku tergolek lemas dalam pelukan orang lain. Aku penuh dosa. Oh Tuhan, betapapun besarnya nafsu yang kuberikan pada orang lain, aku hanya mencintai dia, sang pangeranku, Tristanku, Romeoku, Pangeran berbaju zirahku, cinta dalam hidupku. Absurd.
Banjir datang lagi, seperti tidak tahu diri, kali ini aku hanya terdiam, betapa ku berharap banjir ini bisa merendam tubuhku, membawaku ke gelap niskala. Air mulai tinggi di sungai ini, derasnya air mulai berteriak, deru hujan yang kencang membuatku terhuyung di tepi sungai. Aneh, rasanya aku mulai menyukai hujan, suara petir yang membahana tak lagi membuatku tuli. Arus sungai seakan memanggil namaku., ini bukan akhir dari cintaku padanya, melebihi cintaku akan hidup. Kakiku mulai melangkah , dan aku membiarkan riak sungai menelan tubuhku, merendam wajah, paru – paru dan jantungku. Tuhan, bakar aku dalam apimu, sucikan jiwaku dari dosa yang mengerak. Tapi, jangan hilangkan cintaku padanya. Inilah akhir dosaku.
JAKARTA, 8 APRIL 2008, 21:43
Iced Caramel Macchiato, please?
“ Lo mau ga jadi pacar gue?”
Aku tersedak, caramel macchiato yang ada di dalam mulutkurasanya meronta ingin muncrat menyembur wajahnya. Kupaksakan menelannya sedikit demi sedikit diselingi batuk – batuk kecilku, yang, 80% karena gugup dan kaget, sisanya karena memang benar – benar tersedak!
Kupandangi sekilas wajahnya yang amazingly gorgeous itu, tulang wajah yang kentara, mata yang agak sipit, bibir yang merah, kumis tipis yang membiru (yes, dia cowok, kaget?!). Seperti di film – film, kilas pertemuanku dengannya mulai ditayangkan otakku seperti di layer bioskop.
Dulu, aku bertemu dengannya lewat chatting di Yahoo Messenger, klise memang, mengingat ,begitu banyak orang menggunakan fasilitas ini untuk mencari jodoh, or just to have a one night stand? Let just say, I’m in the middle of it. ID nya simple, Cuma Reno_81, so tipikal, nama-underscore-tahun lahir, nggak kreatif pikirku dengan sok kreatifnya. Tapi dia memilih tempat kopi darat kami dengan sangat kreatif, well, kreatif untuk orang yang punya ID seperti itu. Dia mengajakku bertemu di sebuah kafe diatas sebuah mall di kawasan semanggi. Aku yang lupa membawa sweater malam itu cukup kerepotan dengan angin Jakarta yang agak menusuk dan membuatku sedikit flu. Aku datang duluan waktu itu, again, seperti di film – film, dari kejauhan aku melihatnya datang, dengan kemeja garis – garis, celana bahan yang agak ketat, dan rambut pendeknya yang sedikit berkibar tertiup angin. Seperti di film – film romantis, aku rasa ludahku sedikit menetes melihatnya (film romantis yang mana ya yang tokohnya sampai ngiler begini?)
“Hai, Reza ya? Udah lama?” sapanya setelah benar – benar ada di depan wajahku.
“Oh, mm, belum kok, baru 5 menit gue nyampe, Reno kan?” gugupku. 5 menit? Rasanya aku sudah menunggu lebih dari 20 menit. But he’s worth the wait lah J
Malam itu kami mengobrol sampai lupa waktu, rasanya menyenangkan sekali mengobrol dengan orang yang benar – benar pintar seperti dia, rasanya kalau dibandingkan dengan kopi daratku yang lain, yang hanya cukup beberapa sapaan dan langsung menuju tempat tidur, pertemuanku dengan Reno, bagaikan angin segar di padang pasir (agak berlebihan ya?)
Sejak itu kami sering bertemu, di sela sela makan siang, di waktu pulang kantor, rasanya ada yang kurang kalau aku tidak mendengar suaranya di ponselku atau having lunch without him. Am I in love? Aku memang open minded, tapi aku selalu berpikir kalau hubungan antara dua pria itu sama sekali tidak ada life goalnya. Maybe it works for Elton John, or Lance Bass, but it doesn’t feel right for me. At all! Makanya aku juga masih mencari wanita, aku kagum dengan wanita, buatku mereka penuh dengan esensi kehidupan. What can I say? Men are for fun, and women are for life..
Okay, back to Reno, selama 2 bulan, kami selalu bertemu hampir tiap hari, saling menelepon hampir 2 kali sehari. Kebetulan kami sama – sama berkerja sebagai sales, yang membuat kami bisa mencuri – curi kesempatan untuk sekedar makan siang bersama, atau minum kopi di sore hari. Tempat minum kopi favorit kami, di Starbucks ® , tepatnya di Wisma BNI 46 di kawasan Sudirman. Semua berjalan sangat menyenangkan sampai di suatu sore yang cerah ceria itu..
He popped out the question..
Sumpah, aku merasa seperti dilamar, dilamar di Starbucks ® dengan mas kawin segelas Iced Caramel Macchiato dibayar tunai!
“kok lo bengong gitu sih?” tanya Reno, santai sambil menghirup cappucinonya
“ Lo serius dengan apa yang lo omongin barusan? “ tanyaku cemas
“ya serius lah, gue udah ngerasa cocok sama lo, kenapa kita ngga pacaran aja?” tanyanya lagi, kali ini dengan tampang serius.
Aku terhenyak, aku menyukai Reno, tapi bukankah hubungan seperti ini rentan dengan kecemburuan? Rentan dengan pengkhianatan? Kalau nanti kami putus akankah aku masih bisa bertemu dengannya?
“ Ren, emang kita harus pacaran untuk bisa sama – sama? Lo pasti tau lah, Cuma lo yang belakangan ini ngisi hari – hari gue, kalo kita pacaran, trus putus, trus ntar musuhan, dan gue ga akan bisa ketemu lo lagi, gue ga mau kaya gitu ren..” ujarku panjang.
“kamu berpikir terlalu jauh za, belum pacaran kok udah mikir putus sih?” cetus Reno.
“ bukannya gitu ren, lo tau kan kalo gue orangnya parno gini, lagian life goal kita apa nih? Kita sama – sama laki – laki dan Kita udah bukan ABG lagi ren..” sergahku, mulai panik.
Reno tampak berpikir mendengar ucapanku. Akankah dia mengerti?
“ Gue cinta elu za..” ujarnya sambil memandang mataku dalam – dalam.
Jderrrrrr.. he actually say THE word.. kata – kata yang seumur hidup belum pernah aku dengar terlontar untukku. Rasanya pertahanan diriku runtuh seketika, dan air mata buaya ini mulai mengalir. Reno selalu ada ketika aku membutuhkannya, setidaknya selama 3 bulan setelah kami berkenalan. Rasanya aku bisa mencoba mencintainya.
“ … Okay ren..” ucapku terbata – bata, “ Kita coba ya..” aku menyerah kalah pada pandangan mata sendu Reno yang seakan menghiba itu.
“ I’ll be good to you za..” ujarnya sambil tersenyum. Rasanya aku bisa langsung meleleh saat itu juga.
Obrolan kami sore itu terasa lebih menyenangkan setelah drama itu terjadi. Kami lebih membuka diri masing – masing, dan aku merasa telah menemukan seseorang yang aku cari selama ini. Well, sampai tiba – tiba ada seorang wanita cantik dengan sepatu Jimmy Choo menghampiri kami.
“ Mas, ngapain disini?” ujarnya sambil menepuk pundak Reno
“oh,hai, Ra, aku lagi ngopi nih sama temenku, kenalin, Reza” ujar Reno sedikit kaget seraya memperkenalkan aku dengan wanita itu, yang ternyata bernama Lara.
“ aku abis ketemu perancang, ren, buat kebaya pengantin” ujar Lara antusias
“O, Oya?” jawab reno gugup. Gugup? Entah kenapa perasaanku agak kurang enak.
“ Iya.. sekalian cek – cek catering, pagar ayu, pagar bagus, dekorasi dan lain – lain, kamu kan ga mau ngurusin!”
Kamu ga mau N-G-U-R-U-S-I-N? kata – kata itu berulang di benakku, dan aku pun bertanya,
“ Emang calon kamu siapa ra? Kok ga ikut ngurusin ?” tanyaku gemetar. Jangan – jangan….
“ Aduh za, emang Reno ga cerita ya, calonku kan Reno, kita bakal merit bulan depan, makanya aku lagi ribet ngurusin tetek bengeknya, eh, nanti kamu dateng ya, Reno pernah cerita juga tentang kamu deh kayanya” Ujarnya riang.
..dan segelas Iced Caramel Macchiato pun melayang menyirami kepala Reno, mengiringi hentakan langkahku meninggalkan tempat itu.
Rasanya untuk sementara waktu aku tidak akan minum kopi, chatting dan kopi darat, and most of all, no guys at the moment.
Jakarta, July 22, 2008, 22:12
NOT BRAVE ENOUGH
Setelah gue pikir2, kenapa ya gue mau ninggalin kenyamanan gue di Bandung demi kerjaan di Jakarta yang gajinya ga jauh beda, emang posisi naek sih, jadi manager bo’.. goal gue akhirnya kesampean juga, jadi manager sebelum umur gue 30. Di sisi lain, kayanya ini pelarian gue juga sih, mencoba recover dari keadaan hati gue yang robek sana sini, cinta gue yang ga pernah berbalas di Bandung (ga usah nanya orangnya siapa yaaaa… Cuma Allah dan gue yang tau)
Seharusnya disini gue bisa ketemu orang baru, seharusnya disini gue bisa dapetin cinta baru, kenyataannya nol besar, bukan ga ada yang mau, barusan aja gue nolak orang yang rencananya mau jemput gue buat ke tempat dia malem ini, padahal sebelumnya gue yang maksa2 ketemuan, ternyata gue ga berani, gue belum mampu, masih terlalu banyak pertimbangan, gimana kalo begini, begitu, bla bla bla…
Pengennya sih ada orang yang kekeuh mau nyamperin gue, ngarep banget ya gue hahaha.. mana ada juga orang yang begitu sama orang yang belum pernah diketemuin sebelumnya, cabbbe deeeeh….
Keberanian itu buat gue dateng dengan berjuta pertimbangan, kalo pertimbangan gue mantap, ya gue jalan, tapi kalo ragu, mending ga usah, itu kata nyokap gue. Tapi kadang gue oon juga sih, kaya kemaren jalan kaki ke mangga dua square, yang gue pikir ih kayanya deket deeeeh, ternyata gempor banget, mana niatnya ngambil duit yang udah ga seberapa itu, eeeh atm2 sinting itu rusak semua (SEMUA!!!!!!!). Gitu deh kalo gue ngambil snap decision, ga selalu berakhir bagus.
Buat orang yang mo gue ketemuin hari ini (12-03-08), bukannya ga mau, gue Cuma mau lo lebih kekeuh berusaha nemuin gue, gue Cuma pengen tau rasanya. Tapi lo even ga bales sms gue, ya udah deh, kalo jodoh mah ga kemana2 bukan begitchu??
Yap, batere laptop dah mo dikubur nih, catch you guys later ya…
Good Enough
Have I been Good Enough?..
…I completely lost myself and I don’t mind..
I just can say ‘no’ to you..
Am I Good Enough..?
(Evanescence)
Gue seorang yang terlalu banyak mikir perasaan orang, mau nyuruh ini, takut tersinggung, mau ngelakuin itu, takut ga enak, tapi orang laen rasanya ga pernah peduli perasaan gue.
Gue udah ngelakuin apa aja buat satu orang ini, 10 tahun terakhir gue udah ngerasa banyak banget yang udah gue kasih, waktu, tenaga, uang dan hati gue.
Tapi apakah gue good enough buat dia? Apakah semua yang gue lakuin punya arti dalam hidup dia, sebagaimana penuh artinya hidup gue karena dia.
I’m no angel, gue punya batasan sebagaimana manusia biasa yang banyak dosa, gue pada akhirnya perlu timbale balik atas apa yang udah gue lakuin, I don’t need money, I just need more attention and affection.
Akhir – akhir ini gue malah ngerasa numb banget, ga ada rasa, ga ada keinginan, toh yang gue mau cuma dia, dia dan dia. Gue pengen ngerasain perasaan gue berbalas.
Gue pikir gue siap buat mencari cinta baru, mencari seseorang yang baru, yang bisa ngajarin gue gimana rasanya dicintai.
Tapi ternyata ngga, gue belum siap, apapun yang gue lakuin, Cuma dia yang ada di kepala gue, Cuma dia bahan pertimbangan gue untuk segala hal, setelah nyokap gue tentunya.
Lelah, cape, fuuuuhhhh……
There are no conclusion of what love is…
Sunday, March 30, 2008
INGET UMUR JEEENG!
Buat gue umur 26, berasa agak tua aja, waktu umur gue baru 21, gue ngerasa so young and menatap masa depan penuh percaya diri, dengan senyum tiga jari (berlebihan banget ya?). Sekarang, semangat masih sih, Cuma dengan beberapa pengalaman hidup yang udah gue dapet, bikin gue sedikit ngerasa tua. Masalah baju aja, nyokap gue sering bilang, ‘aduuuh kamu tuh dah ga pantes pake bajun yang agak2 ngepas gitu’, gue dengan nyinyirnya nanya, ‘trus aku harus pake baju bapak2 gitu?’. Setelah dipikir-pikir ada benernya juga sih, kostum kadang harus sesuai umur, tapi geli ga sih lo, ada orang yang jelas muka tuir tapi masiiih aja pake celana jins skinny plus pake kaos2 gaul gitu, oh come on lah, berjiwa muda emang bagus, tapi sadar diri kalo udah tua lebih bagus lagi, tapi ga berlaku buat nyokap gue yang super gaul itu, hidup mama!
Balik lagi ke masalah kantor, sungkan ga sih lo kalo superior lo di kantor lebih muda dari lo, secara gue berasal dari keluarga dan kuliah yang senioritasnya tinggi banget, jadi rikuh aja kalo ada dalam posisi ini. Di kantor, sekretaris office gue lebih tua dari gue, tapi dia ngambilin minum buat gue, minta tanda tangan ke gue, awalnya aneeeeh banget, dan gue ngerasa ga enak aja, rasanya kurang ajar aja nyuruh2 or minta tolong sama rekan kerja yang lebih tua. Emang gitu kali ya hidup, kadang umur udah ga penting lagi ketika lo udah diatas umur 25, rasanya semua orang yang ada di depan lo itu equal, bisa lo panggil ‘elu-gue’ seenaknya.
Yang paling bikin bete dari semua masalah umur itu adalah pertanyaan ‘kapan kawin’, atau ‘udah punya pacar belum’, aduuh so what sih? Makanya gue suka bilang sama temen-temen gue, ‘kalo gue udah umur 35, tolong seseorang telpon gue buat ingetin kalo gue belum kawin’. Temen2 gue udah banyak banget yang udah kawin, seperti biasa dengan pesimis campur nyinyir gue suka mikir, udah yakin lo? Kayanya biaya kawin aja masih dibayarin ortu lo deh, trus lo yakin bisa nanggung kehidupan lo berdua plus anak lo? Ketakutan gue sama perkawinan bukan Cuma itu aja sih, gue ga mau ribut2 sama bini gue, gue ga mau anak gue kecewa ngeliat bonyoknya sama2 bonyok. Pernikahan itu seharusnya sekali seumur hidup, nah kalo gue liat di sekitar gue, banyak yang kawin cerai, wajar dong kalo gue berpikir 2 juta kali sebelum mutusin buat menikah?
Jangan tanya umur sama kapan kawin ya!
Mencari Ayah
Anyway.. di acara itu diputer film- film indie, ada 2 sih, salah satunya judulnya AKAR, tentang anak bandung yang baru tau kalo dia ternyata anak adopsi, dan melakukan road trip ke nusakambangan untuk nyari bapak kandungnya. Sangat menyentuj, walaupun dengan gambar2 sederhana, dan sangat ‘dokumenter’ tapi berhasil bikin gue termenung abis nonton itu. Jadi inget almarhum bokap gue sendiri, yang selalu bikin gue kesel sampe akhir hayatnya.
Pencarian gue tentang sosok ayah, udah berlangsung sejak bokap gue masih hidup, gue selalu bertanya inikah bokap gue? Selemah ini? Semenyebalkan ini, kenapa gue ngga bisa punya bapak seperti anak – anak lain yang sehat, berwibawa, dan menafkahi keluarganya, kenapa bapak gue ngga begitu, kenapa anak2 lain dijemput bokapnya dari sekolah, sedangkan bokap gue malah ada di rumah, tidur – tiduran? Gue kecewa sekali, gue sampe ilang respek sama dia, plus masa kecil gue sampe sma selalu penuh dengan keributan antara bokap dan nyokap gue. Anehnya waktu dia sakit keras dulu, gue inget banget gue yang ngga bisa nangis sebelum itu, tiba – tiba nangis sejadi-jadinya, tumpah semua rasa sedih gue ngeliat bokap gue yang udah ga sadar karena gula darahnya kelewat tinggi. Walaupun setelah itu, gue ngga ngerasa apa2 pada saat dia dikubur, rasanya kosong, ga ada perasaan apa – apa, gue Cuma pengen pulang ke Bandung saat itu.
Semakin gue besar, gue ngga menyesal gue pernah benci sama bokap kandung gue sendiri, gue cuma menyesal ga pernah ngasih kesempatan buat dia berubah atau bikin dia berubah dengan cara gue sendiri.
Mungkin ini juga yang bikin gue ga pengen menikah, gue pengen punya anak (banget) tapi ga pengen punya istri, I don’t know mungkin 5 tahun lagi pandangan gue berubah, gue selalu berpikir what’s the point of being married to someone? Do you have to get married? Are you ready for those living together stuff? Semuanya absurd menurut gue.
Anyway, I Love You Dad, thanks anyway for any experience you have taught me, with or without intention, I just don’t wanna be like you..
BANCI!
Sejauh yang gue inget, masa kecil gue selain sakit2an mulu, susah makan, punya ortu yang ribuuut mulu kerjaannya, dan dipanggil banci sama temen – temen sekolah gue dari SD sampe SMA.
Banci! Bencong! Plus mereka pake acara ngejek – ngejek dengan gaya perempuan. I’m living that through my childhood, my adolescence and my teenage life, practically almost half of my life! Sakit banget kalo denger kata – kata itu dulu, sampe gue bertanya – tanya apa salah gue sampe gue kaya gini, mati2an merubah diri gue supaya agak LAKI, tapi tetep ga bisa bikin orang – orang sialan itu nutup mulut kotor mereka.
Dulu gue Cuma bisa ngurut dada, supaya sabar, dan lari dari situasi kaya gitu, label itu udah nempel sama gue sampe gue gede. Beruntungnya gue, dari SMP sampe SMA, gue selalu punya temen satu geng yang ga peduli sama ke’banci’an gue ini, malah temen – temen SMA gue jadi temen2 terbaik gue, dan salah satunya jadi sahabat gue sampe sekarang ini. Waktu kuliah sih, mereka semuanya udah open minded, jadi gue ga pernah dipanggil dengan kata – kata itu lagi.
Sekarang, kebancian gue ini malah jadi modal gue, gue ga ngondek yah, jangan salah, semua laki – laki punya sisi feminin masing – masing. Bedanya kadar feminine gue sedikit lebih dari laki – laki laen pada umumnya. Bikin gue lebih gampang bergaul sama orang - orang, lebih terbuka, lebih lucu (kartun banget, kalo kata orang kantor gue).
I’m not say that I’m gay, at least I haven’t decide it yet, I still have boner when I see sexy girls, but sometime a great man will make me turn my head. Mungkin karena gue sampe sekarang masih mencari sosok ayah dalam hidup gue yang bapak kandung gue ga bisa kasih semasa hidupnya.
Jangan pernah manggil anak laki –laki dengan sebutan banci, sebanci apapun dia, bukan maunya juga kok jadi agak feminin, mungkin udah dari sononya. Laki – laki manapun ga ada yang mau punya sifat feminine yang berlebihan, dan buat gue berusaha berubah untuk orang lain itu bullshit, be yourself, sebasi apapun istilah itu, tapi itu dah yang paling bener.
Ada Lowongan??
Padahal sampe beberapa bulan yang lalu gue bangga2 aja sendirian, sampe akhirnya gue mikir, kok sepi juga ya hidup gue? Ternyata gue butuh CINTA atau cincha .. kalau kata cincha lawra hehehehe…
Tapi kok susah ya, cari yang nyaris sempurna buat gue, emang ga ada yang sempurna seeh, kalo ada yg sempurna gue malah takut jangan2 kalo malem makan bayi (iiih apaan siih?) , the perfect person for me is just have to care enough, smart enough, and tough enough buat ngadepin gue yang plin plan dan ragu2 terus dalam mengambil keputusan.
Suka aneh aja kalo ngeliat pasangan2 di sekitar gue, lo liat apa sih dari dia? Iya kalo cakep atau cantik gue ga bakal nanya, tapi kalo agak pas2an, kenapa lo bisa milih dia? Kayanya itulah yang namanya rahasia cinta, lo ga bakal bisa lepas dari seseorang, sebagaimanapun jeleknya tuh orang, itu kali yang namanya jodoh.
Pasti pada pernah mikir, jodoh gue lagi ngapain ya sekarang? Umurnya berapa ya? Atau yang lebih parah, dia udah lahir belum ya? Hahaha.. daun muda abissss.. mungkin gue bakal tau jodoh gue ketika gue udah adep2an sama dia, dan berpikir oooh ini orangnya..
Kapan atuh ya? Gue dapet orang yang bisa bikin gue mikir begitu?
Not Brave Enough
Setelah gue pikir2, kenapa ya gue mau ninggalin kenyamanan gue di Bandung demi kerjaan di Jakarta yang gajinya ga jauh beda, emang posisi naek sih, jadi manager bo’.. goal gue akhirnya kesampean juga, jadi manager sebelum umur gue 30. Di sisi lain, kayanya ini pelarian gue juga sih, mencoba recover dari keadaan hati gue yang robek sana sini
Seharusnya disini gue bisa ketemu orang baru, seharusnya disini gue bisa dapetin cinta baru, kenyataannya nol besar, bukan ga ada yang mau, barusan aja gue nolak orang yang rencananya mau jemput gue buat ke tempat dia malem ini, padahal sebelumnya gue yang maksa2 ketemuan, ternyata gue ga berani, gue belum mampu, masih terlalu banyak pertimbangan, gimana kalo begini, begitu, bla bla bla…
Pengennya sih ada orang yang kekeuh mau nyamperin gue, ngarep banget ya gue hahaha.. mana ada juga orang yang begitu sama orang yang belum pernah diketemuin sebelumnya, cabbbe deeeeh….
Keberanian itu buat gue dateng dengan berjuta pertimbangan, kalo pertimbangan gue mantap, ya gue jalan, tapi kalo ragu, mending ga usah, itu kata nyokap gue. Tapi kadang gue oon juga sih, kaya kemaren jalan kaki ke mangga dua square, yang gue pikir ih kayanya deket deeeeh, ternyata gempor banget, mana niatnya ngambil duit yang udah ga seberapa itu, eeeh atm2 sinting itu rusak semua (SEMUA!!!!!!!). Gitu deh kalo gue ngambil snap decision, ga selalu berakhir bagus.
Buat orang yang mo gue ketemuin hari ini (12-03-08), bukannya ga mau, gue Cuma mau lo lebih kekeuh berusaha nemuin gue, gue Cuma pengen tau rasanya. Tapi lo even ga bales sms gue, ya udah deh, kalo jodoh mah ga kemana2 bukan begitchu??
Yap, batere laptop dah mo dikubur nih, catch you guys later ya…
Pasrah Aja
Bulan-bulan terakhir ini gue ngerasa sangat promiscuous deh, kaya lagunya Nelly Furtado ituh, bedanya kalo lagu itu enak buat goyang, lah gue, malah bikin sakit kepala. Anyway, speaking of promiscuous, gue ngerasa panik karena belum punya pacar ampe sekarang (mo cewek atau cowok, GA ADA!!!!!). Panik sekaligus iri sama orang-orang lain, sama novel2 sialan yang kayanya ngegampangin banget buat menemukan pacar yang perfect. Sebulan ini gue ber sms2 ria (hahah) dengan 2 orang yang gue kenal lewat friendster (yes, site yang sangat ‘guilty pleasure’ itu). Biasa aja sih smsnya, tapi kayanya ketauan banget yah kalo gue pengen ada relationship, spertinya mereka malah pada males gitu, malah sms2nya menjurus ke mesum – mesum ga jelas. Gue sendiri bingung, I mean, look at me, gue yang dengan sadar dirinya ngomong sama diri gue sendiri kalo I don’t need any relationship, I don’t need love, I need to have fun only, with no string attached. JDERRRRRRR…. Kayanya gue harus hati2 kalo ngomong, even sama diri gue sendiri.
Ternyata gue perlu relationship, ternyata gue perlu orang yang sms2 mesra , nelpon – nelpon ga penting, orang yang YM atau telpon gue cuma buat nanya udah makan atau belum, ternyata gue perlu orang yang bias gue sayang – saying, yang bisa gue peluk – peluk kapanpun sesuka gue. Proses pencarian gue sebulan belakangan ini ternyata (cape ga sih denger kata ‘ternyata’ di postingan ini?) ga ada hasilnya tuh, yaa ada sih yg bales sms2 gue yang mupeng itu, tapi no point banget. Ada yang desperately gue pengeeen banget, eh tapi dasar tolol bin gobloknya gue, gue sok2 mengiba2 minta dibales YM, or email, yet dia ngga ngebales juga sampe sekarang padahal orangnya bikin gue ileran banget di foto YMnya. Ada juga yang gue YM, bales2an tapi begitu gue tanya, udah punya pacar, dia bilang udah, APAAA??? helooo? So what’s the point of our stupid conversation???. Jadi basi.
Malem ini tiba – tiba tergugah (selain karena ga bisa tidur), kayanya gue mo pasrah aja ama Allah, terserah Dia aja yang ngatur hidup gue, gue kan udah berusaha, sisanya tinggal Dia yang mutusin jalan takdir gue. Rasanya gue bakal lebih tenang kalo pasrah, dan nunggu kejutan – kejutan yang mungkin bakal nemplok besok – besok.
Gue kadang dengan narsisnya berpikir, buset, gue kurang apa lagi sih? I have a job, I am smart (well, sometimes..) I am good looking ( dalam arti ga jelek2 amat), why everyone I want is avoiding me? Mungkin gue terlalu too the point kali ya, males pake proses, biasanya baru chatting 2 baris gue dah ngajak ketemuan, karena gue selalu horny?? Hahaha…
Anyway.. wish me luck yah, hope tomorrow will be much better, and hope I will find love somehow.. somewhere..